Monday, February 27, 2006

Catatan petualangan dengan sepeda di tahun 2005













Menyapa Rinjani dengan sepeda

Catatan harian Iwansunter
15 hari kutempuh dalam ribuan kayuhan sepeda untuk mencapai kaki gunung Rinjani. Dari Sunter Agung di wilayah Jakarta Utara, kutinggalkan keluarga, orangtua dan semua yang kucintai. Walau tanpa persiapan yang memadai, semangat dan keyakinan menjadi modal utamaku dalam perjalanan ke salah satu gunung yang cukup tinggi di Indonesia, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Suka dan duka senantiasa mengisi catatan perjalananku. Masjid, pos polisi, rumah maupun Sekretariat Penggiat Alam Terbuka yang kulalui menjadi tempat persinggahanku. Simpati yang kuterima ternyata tidak kalah besar dibandingkan antipati yang kudapat. Ketika salah seorang camat pada daerah yang kulalui memberiku bekal jalan berupa 4 buah permen, kutanggapi dengan penuh syukur. Begitu pun ketika di salah satu pos polisi aku di usir saat bermaksud menginap, bagiku itu hanyalah bunga perjalanan.
Setelah puncak Rinjani kudaki bersama sepeda, kulanjutkan perjalanan bersepedaku kembali ke Jakarta dengan menyinggahi pula Gunung Agung, Gunung Argopuro, Gunung Lamongan, dan Gunung Sumbing. Di empat 4 gunung ini kudaki gunung-gunung tersebut tanpa menyertakan sepedaku hingga ke puncak.
Mulanya tidak ada rencana bersepeda dari Jakarta hingga Gunung Rinjani. Rencana awalku adalah mendaki gunung-gunung di Pulau Sulawesi. Namun karena minimnya dukungan yang kuperoleh, rencana itu akhirnya aku ubah. Aku memilih mencoba mendaki gunung dengan membawa sepeda sebagai alat transportasiku dan membawanya hingga ke puncak gunung. Kusadari bahwa aku tidak memiliki pengalaman dasar bersepeda sebelumnya, terlebih bila harus bersepeda dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Aku tidak tahu berapa lama perjalanan yang akan kutempuh, berapa kilometer bisa kurengkuh dalam sehari, atau seberapa letih yang kudapat di paha, pundak, mata, dan juga pantatku.Yang ada dalam pikiranku hanyalah tekad, semangat, dan kemauan serta ditambah penghayatan akan perjalanan itu sendiri. Ini kulakukan karena aku terlalu cinta dengan dunia petualangan. Tahun ini aku bersepeda menuju puncak sebuah gunung. Mungkin, tahun depan aku akan berjalan kaki dari Jakarta menuju sebuah puncak gunung dan kembali lagi ke Jakarta dengan tetap berjalan kaki. Semua itu ingin kuwujudkan karena bagiku berpetualang adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai. Aku ingin hidup dalam duniaku, dunia orang-orang yang selalu ingin mencoba sesuatu. Aku hanyalah segelintir regenerasi dari orang-orang yang pernah melakukan kegiatan semacam ini.
Karena tak mau jiwa petualanganku hilang atau terasa monoton hanya dengan berpetualang naik dan turun gunung-gunung di pulau Jawa dan Sumatera, akhirnya kutekadkan niat untuk bersepeda hingga puncak Rinjani. Namun masalah pertama muncul. Aku tidak punya sepeda! Sebagai langkah awal, kuberanikan untuk mengutarakan niatku bersepeda kepada Bang Yudi Avtech, pemilik toko penjualan alat-alat outdoors bermerek Avtech. Kuminta kepadanya untuk ikut mensponsori kegiatanku dengan bersedia meminjamkan sebuah sepeda gunung kepadaku. Ia tidak keberatan namun yang dapat ia pinjamkan hanyalah sebuah sepeda bekas yang masih cukup layak pakai. Kondisinya cukup memprihatinkan. Ban bagian depan kempes, cat sudah memudar, dan kondisinya pun kotor karena belum lama ini tercebur di selokan dan belum dibersihkan. Ku katakan pada diriku sendiri bahwa sepeda ini masih cukup mampu untuk membawaku mewujudkan impian. Demi merealisasikan keinginanku itu, aku pun setuju dengan tawaran Bang Yudi. Sepeda itu pun kubawa pulang dan kuperbaiki sebisaku termasuk mengganti stang sepeda dengan yang lebih ke atas agar aku tidak terlalu menunduk pada saat mengendarainya.
Langkah berikutnya adalah mencari dana uang tunai. Kuajukan proposal kepada Walikota Jakarta Utara melalui bantuan Lurah Sunter Agung, Bapak Hariadi. Alhamdulillah, Beliau bersedia mendukung ekspedisi kecilku ini dan begitu pula dengan Bapak Hariadi. Selanjutnya kucari tambahan dana melalui pengumpulan dana dari berbagai pihak yang bersimpati kepadaku. Selang beberapa minggu, dana berhasil kukumpulkan walaupun jumlahnya masih jauh dari budget perkiraanku. Namun, kekurangan dana bukanlah penghalang bagiku untuk terus melanjutkan rencana petualanganku.
Hari yang kurencanakan tiba. Hari itu adalah awal perjalanan bersepedaku selama 15 hari dari Jakarta menuju Rinjani di Pulau Lombok. Sekitar jam 9 pagi pada tanggal 1 Juni 2005, kumulai perjalananku. Jalur Pantai Utara Pulau Jawa (pantura) menjadi pilihan jalur keberangkatanku. Kota Cirebon, Semarang, Surabaya, Probolinggo hingga pelabuhan Ketapang di Banyuwangi kulalui dalam 11 hari. Di kota-kota itu dan beberapa kota kecil lainnya itulah aku melepaskan lelah untuk melanjutkan perjalanan bersepeda di keesokkan harinya.
Selepas penyeberangan dengan kapal Feri, kulintasi Pulau Bali dengan bersepeda. Demikian pula setelah aku menyeberang dari Bali ke Pulau Lombok, kumantapkan hati untuk terus mengayuh pedal sepedaku hingga Rinjani. Seketika keletihan yang kudapat terhapus oleh rasa syukurku begitu kuinjakkan kakiku di kaki gunung Rinjani dengan selamat. Lima belas hari kutempuh perjalanan itu. Terbesit sedikit rasa bangga dalam diriku karena akhirnya aku bisa mematahkan keragu-raguan orangtuaku, kakak-kakakku, dan juga teman-teman. Selama ini mereka sangat meragukan kemampuanku dalam bersepeda jarak jauh, karena mereka tahu bila aku belum pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Sore itu jam menunjuk pada angka 3 ketika aku tiba di pos pendakian Sembalun. Segera kulaporkan kedatanganku dan niatku untuk mendaki Gunung Rinjani dengan membawa sepeda kayuhanku menuju puncak gunung. Aku mendapatkan izin dan diperkenankan istirahat di salah satu kamar pada pos tersebut. Kuhabiskan sore itu dengan menyiapkan pelengkapan pendakian dan beristirahat penuh sambil menunggu datangnya pagi.
Bersamaan dengan terbitnya matahari, aku bersiap-siap untuk mendaki. Semua perlengkapan pendakian dan sepeda aku cek kembali. Begitu juga persediaan air. Namun alat-alat perbaikan sepeda aku titipkan di pos pendakian agar tidak menambah beban ranselku. Setelah semuanya kurasakan beres, aku pamit dengan iringan doa dari penjaga pos pendakian. Ku sebut nama Allah sebagai awal pendakianku.
Mulanya sepeda kunaiki dan kukayuh. Nikmat benar rasanya, apalagi bila jalur yang kulalui agak menurun. Wah pokoknya semangatku besar sekali! Sesekali aku istirahat sambil menikmati alam sekitarku, sungguh indah dan mengagumkan. Rinjani memang salah satu gunung favorit bagi setiap pendaki. Tak heran bila banyak pendaki yang bermimpi dan berencana mendaki Rinjani. Keindahan alamnya sungguh luar biasa, terlebih pemandangan di Danau Segara Anak yang berada di tengah-tengah ketinggian gunung. Bagi yang memiliki hobi memancing, dapat memancing dan berharap mendapatkan ikan Karper, ikan khas penghuni Danau Segara Anak. Gunung Rinjani menjulang lebih tinggi daripada Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Sebenarnya, ini adalah pendakianku untuk yang keempat kalinya. Pendakian pertama kali gunung ini kulakukan pada tahun 1995. Rinjani terlalu sayang untuk dilupakan hingga aku selalu ingin kembali lagi walau hanya untuk sekedar mengenangnya.
Setelah cukup lama mengikuti jalur pendakian yang terbilang hampir tanpa rintangan, akhirnya tiba juga aku di jalur pendakian yang memiliki alang-alang yang cukup tinggi. Akibatnya, jalur pendakian tidak terlalu kentara. Hal ini menambah sulit pergerakanku. Sesekali sepedaku tersangkut alang-alang. Di jalur ini kelelahan sungguh-sungguh mulai menerpaku hingga memaksaku untuk melepas lelah sejenak. Di saat istirahat, kusempatkan untuk menjepret beberapa pemandangan melalui kamera foto. Hanya saja, aku terpaksa harus memilah views yang perlu didokumentasikan. Maklum, dengan dana perjalanan yang terbatas, aku harus pandai berhemat. Untuk Rinjani, kuanggarkan satu roll filem saja sebagai dokumentasi. Aku harus lebih mementingkan urusan logistik dan perbaikan sepeda selama perjalanan daripada dokumentasi. Karena itulah, petualanganku kali ini (Jakarta—Lombok PP) hanya kuanggarkan 4 roll filem isi 36 sebagai media dokumentasi.
Dengan iringan keringat yang terus mengalir, kulewati Pos 1 dengan tetap terus melangkah bersama sepedaku untuk menuju Pos 2. Kuhentikan langkahku setiba di Pos 2 untuk beristirahat dan mengambil air sebagai bekal menuju pos berikutnya. Air di pos ini sebenarnya kurang bagus, tetapi aku terpaksa mengambilnya karena tak ingin kalau-kalau nanti aku mengalami kehausan atau kekurangan air. Maklum, tempat pengisian air berikutnya adalah Pelawangan yang jaraknya lumayan jauh dengan medan yang terus menanjak.
Alhamdulillah cuaca selalu cerah dan matahari bersinar hangat. Tentu saja keadaan ini sangat menyenangkan dan memudahkanku dalam meneruskan pendakian dengan membawa serta sepeda. Aku tak mampu membayangkan seandainya cuaca gelap dan turun hujan. Bila itu terjadi, aku menduga aku pasti akan “habis” dan Rinjani pasti memaksaku turun kembali. Cerahnya cuaca telah masuk dalam perhitungkanku. Itulah sebabnya kupilih pendakian gunung kali ini di bulan musim kemarau. Pada musim seperti ini, selain pendakiannya dapat dilakukan dengan nyaman, pemandangan pun sangat indah untuk dinikmati dan diabadikan. Selain itu, kita tidak perlu menikmati licinnya jalur yang bisa membuat terpeleset atau harus menunggu matahari untuk menjemur pakaian andai mendapat hujan di tengah pendakian.
Setelah mengisi penuh botol-botol bekas air mineral, kulanjutkan kembali perjalanan. Selepas Pos 2 pergerakanku mulai berbeda dari sebelumnya. Bila pada jalur sebelumnya aku mendaki dengan mengayuh sepeda dan ransel terkait di punggung, pada jalur menuju Pos 3 aku lebih banyak memanggul sepeda atau kadang menuntunnya bila jalur tidak terlalu menanjak. Dengan semangat yang terus membara akhirnya aku tiba di pos 3 dan dapat beristirahat sejenak serta mengabadikan pemandangan yang indah di tempat itu.
Selepas Pos 3 dimulailah sebuah jalur pendakian yang kusebut dengan jalur penyiksaan. Jalur yang dilewati lebih terjal dan menanjak dibandingkan jalur sebelumnya. Sungguh, jalur ini jalur yang pelit akan bonus pendakian. Di jalur ini aku bertemu dan berkenalan dengan tiga pendaki wanita dari Palembang dan tiga pendaki pria dari Tangerang. Mereka sepakat bergabung denganku untuk bersama-sama melanjutkan pendakian.
Setelah cukup beristirahat, aku naik terlebih dulu dengan memanggul sepeda sedangkan ransel kutinggal di bawah. Setelah kira-kira 100 meter, kuletakkan sepeda untuk selanjutnya aku turun kembali ke bawah mengambil tas ransel. Setelah itu aku dan teman-teman pendaki lain bersama-sama mendaki ke tempat sepeda kuletakkan. Melihat jalur yang terus menerjal, pergerakkanku pun aku ubah kembali. Aku jelas tidak bisa memanggul sepeda dengan ransel berada di punggung. Akhirnya, kulakukan hal yang sama terus-menerus dalam pendakianku di jalur tersebut: membawa secara bergantian antara sepeda dan ransel, turun-naik! Letih memang, tapi mengasyikan! Perjuangan yang berat seperti itu memberikan kepuasan yang tidak terukur dengan kata-kata.
Tak lama mendaki, gelap mulai merayap. Kami terpaksa mencari tempat yang agak datar untuk pemasangan tenda. Setelah tempat yang cocok ditemukan, teman-teman baruku langsung memasang dua buah tenda. Satu tenda untuk pria dan tenda lainnya untuk wanita. Aku sendiri hanya membongkar ransel untuk mengambil flysheet (kain terpal tipis yang biasanya dibentangkan ke atas untuk membentuk menyerupai atap rumah/ bentuk huruf V terbalik) untuk kujadikan bivak (semacam tempat perlindungan sementara) sebagai wadah tidurku, karena memang aku tidak membawa tenda (tepatnya, tidak memiliki tenda!). Belum selesai bivak kubuat, teman-teman baruku melarang aku tidur hanya dengan flysheet. Mereka mengajakku untuk berbagi tenda dengan mereka. Malam itu aku tidur di tenda teman-teman dari Tangerang. Malam kami lalui dengan riang, kami saling bercanda mengisi malam yang indah. Sambil memandang hamparan bintang di langit yang cerah, kami membuat kopi panas sebagai teman pengimbang rasa dingin. Baru menjelang tengah malam, kami tidur untuk membuat mimpi.
Esoknya setelah sarapan pagi, kami langsung membongkar tenda dan mengepak barang-barang ke dalam ransel kembali. Seperti kemarin, aku naik terlebih dulu dengan memanggul sepeda dan kembali turun untuk mengambil ransel untuk kemudian mendaki bersama-sama. Hal itu kulakukan berulang-ulang. Jujur saja, pendakian dengan cara seperti ini sangat melelahkan. Namun semua itu bisa kulakukan karena aku selalu berkeyakinan bahwa aku harus bisa! Apalagi, bagiku Rinjani merupakan kewajiban yang tidak mungkin aku tolak. Ide pendakian dengan membawa sepeda kulakukan karena aku mulai bosan dengan pendakian biasa (tanpa sepeda). Sebenarnya, cita-citaku adalah mendaki gunung yang lebih menantang seperti Cartensz (di Papua), Mount Cook (di New Zealand), Kilimanjaro (di Tanzania), Elbrus (di Rusia) atau McKinley (di Alaska). Tapi itu hanyalah khayalan! Bagiku, cita-cita seperti itu bagaikan pungguk merindukan bulan. Aku berdiri bukan di atas sebuah organisasi terkenal. Aku hanyalah petualang gunung yang berjalan menurut kehendak kaki dan bermodal pas-pasan. Padahal, aku bersedia mengorbankan nyawa demi memperoleh sebuah pendakian yang sulit. Karena mimpiku adalah menjadi seorang Reinhold Messner (Sang Leganda gunung yang fenomenal dengan julukan Dewa Gunung) yang tangguh. Rasanya, kemujuran dan kesempatan belum menjadi bagian dari hidupku. Mereka masih menjadi milik petualang-petualang gunung dari organisasi tenar hingga mampu menapaki gunung-gunung top dunia. Sedangkan aku, untuk mendapatkan sponsor saja sulitnya setengah mati. Banyak proposal yang kuajukan dijawab dengan mengangkat tangan atau kadang malah ditertawakan. Hidup ini kadang memang aneh. Sementara ada seorang mahasiswa yang baru mengenal pendakian gunung selama 5 tahun di mapalanya ia sudah bisa mendaki gunung ke Cartensz dan bahkan gunung-gunung di luar negeri, aku cuma muter-muter menghitung sandal yang putus di saat mendaki gunung-gunung kacangan.
Tak terasa matahari mulai meninggi, persediaan air kami mulai menipis. Terpaksa kami harus mempercepat langkah agar cepat tiba di Pelawangan. Di jalur antara Pos 3 dan Pelawangan ini, teman-teman baruku satu per satu mulai ada yang muntah. Mungkin karena mereka belum biasa mendaki gunung dengan medan yang lumayan terjal. Setelah mendaki dengan kemampuan yang dipaksakan akhirnya kami berhasil tiba di Pelawangan. Kami pun bergegas membagi tugas. Sebagian memasang tenda sedang yang lain mengambil air. Meski kami baru saja bertemu namun kami bertujuh sudah merasa seperti satu tim yang berangkat bersama-sama dari rumah.
Setelah tenda terpasang, teman-teman wanita dari Palembang mulai memasak. Yang lain bersantai sambil menikmati pemandangan Segara Anak yang ada di bawah sana. Siang itu setelah makan, kami habiskan waktu dengan bercanda dan bercerita apa saja. Malamnya kami beristirahat penuh untuk memulihkan tenaga, karena kami harus bangun jam 3 pagi untuk menyerang puncak Rinjani. Malam indah itu kami tuang dalam dengkuran-dengkuran kecil menuju dunia mimpi.
Jam 3 kurang 15 menit datang, alarm jam berbunyi. Kami mulai berkemas dan bersiap-siap mendaki. Setelah berdoa, kami mulai melangkah dengan iringan cahaya senter. Pagi yang gelap dan dingin ternyata tidak menghalangi keringat untuk keluar dari pori-pori kami. Nafas kami berpacu dengan waktu, langkah-langkah kami hemat agar pergerakan kami tidak saling meninggalkan. Aku sendiri agak kerepotan membawa sepeda karena medan yang dihadapi berupa batuan berpasir yang kalau diinjak sering merosot. Tak terasa sinar matahari mulai terlihat di garis cakrawala. Sunrise yang indah cocok sekali untuk diabadikan sebagai tanda awal sinar matahari menyinari tubuh kami. Kami pun sejenak memanfaatkan moment itu. Pendakian menuju puncak kami lanjutkan. Semangatku tetap tinggi walau letih menghampiri kaki dan pundakku. Kulihat teman-teman lain pun masih bersemangat karena….….Mendaki Gunung adalah Puncak!
Setelah memakan waktu 6 jam, akhirnya aku tiba di puncak pada pukul 9 pagi dan diikuti teman-teman pendaki wanita dari Palembang dan kemudian teman-teman lainnya. Aku bersyukur Rinjani sudah kutendang. Kutumpahkan senangku dengan mengambil gambar di puncak Rinjani bersama sepeda yang telah setia menemaniku dari Jakarta. Ternyata, perjalanan yang kurancang tanpa persiapan matang bisa berhasil juga! Semua itu karena Allah senantiasa berbaik hati dengan memberi ketahanan pada diriku dan mengizinkan aku untuk terus berpetualang, Terima kasih Yaa Allah….
Setelah puas dengan suasana puncak dan pengambilan gambar, jam 10 kami turun kembali menuju Pelawangan, tempat dimana kami masih memasang tenda. Perjalanan turun lebih mudah dan cepat. Kami hanya membutuhkan waktu dua jam. Setiba di Pelawangan kami langsung istirahat. Aku sendiri mulai berkemas dan mengepak peralatan ke dalam ransel karena aku akan turun melewati jalur semula. Sedangkan teman-teman baruku akan menggunakan jalur lain yaitu turun ke Segara Anak dan melewati jalur Senaru. Ini berarti kami harus berpisah. Dan aku akan kembali seorang diri untuk menuju pos Sembalun.
Setelah kurasa cukup, aku pamit dan tak lupa berterima kasih kepada mereka atas kebaikan dan persaudaraan yang kami lalui bersama. Meski pertemuan kami relatif singkat namun kebersamaan yang singkat itu tetap membekas di hati kami masing-masing. Tepat jam dua siang aku langsung cabut dan mengambil langkah seribu dengan memanggul sepedaku agar bisa tiba di Pos 2 sebelum hari menjadi gelap. Aku memang berniat bermalam di Pos 2 agar keesokan harinya aku tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menuju pos pendakian Sembalun. Dan seperti yang kuperkirakan, aku tiba di Pos 2 pada pukul lima sore. Segera kupasang bivak dan kemudian memasak untuk sarapan malam sambil merenung tentang selesainya pendakianku ke puncak Rinjani dengan membawa sepeda. Setelah selesai makan malam, aku langsung tertidur. Lepaslah lelah yang menderaku begitu berat sepanjang hari itu. Aku tidak mau tahu tentang gelapnya malam, tentang heningnya malam, tentang seramnya malam atau tentang berkeliarannya setan-setan di malam hari!
Keesokkan paginya, aku langsung bergegas turun. Dari Pos 2 ini aku merasakan nikmatnya turun gunung dengan mengendarai sepeda. Otomatis perjalanan turun menjadi lebih cepat. Hanya saja alang-alang yang tinggi kadang sedikit mengganggu. Aku sempat tersangkut beberapa kali. Hanya dua jam aku butuhkan untuk tiba di pos pendakian Sembalun. Setiba di sana, aku langsung disambut tepuk tangan para petugas pos begitu aku sampai di depan pintu. Petugas menanyakan tentang bagaimana rasanya mendaki dengan membawa sepeda dan kesulitannya. Sambil mengatur nafas yang masih kelelahan, akupun bercerita dengan semangat dan menjelaskan dengan senyum kepuasan tanda kemenangan.
Tak lama kemudian aku melakukan cek ulang peralatanku, termasuk alat-alat perbaikan sepeda yang kutitipkan di pos. Selanjutnya badan kubersihkan dan sepeda pun aku kontrol dengan teliti. Setelah semuanya kurasakan beres, aku pun pamit dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas kebaikan petugas pos yang telah mengizinkan aku mendaki dan menginap semalam di tempat mereka sebelum aku mendaki.
Dengan mengucap basmalah dan menggenggam tangan petugas pos, aku pamit dan mulai mengayuh kembali sepeda lagi menuju Pusuk Bukit yang berada di atas desa Sembalun dan terus meluncur melewati hutan Taman Nasional Gunung Rinjani hingga sampai Masbagik dan bermalam di Mapala Universitas Gunung Rinjani. Keesokkan harinya ku kayuh sepedaku menuju kota Mataram dan beristirahat di Universitas Mataram. Hari itu kunikmati ramainya kota Mataram, sebelum hari-hari berikutnya ku kayuh kembali sepedaku dari kota demi kota menuju Jakarta…..
Tanpa-Mu aku tak ada apa-apa
Saat berjalan diatas sadel
Antara Jakarta -- Lombok
Hanya Engkaulah Yang Maha Dahsyat Luar Biasa
Yang mampu bicara
Ya Tidaknya aku
Rinjani, engkau

Menagih keringat

Memeras dengkul dan paha
Memukul pundak
Membelah semangat
Walau akhirnya engkau bisa ku tendang
----------------------------------------------------------------
Iwansunter (2005)
Home: Jl. Baru Ancol Selatan Rt 03 Rw 07 No.54
Sunter Agung Jakarta Utara 14350

Hp. 081383100073