Friday, August 18, 2006

SAAT KEPEDIHAN ITU DATANG.....



Ini adalah sepenggal kisah saat-saat kepedihan mendera diriku. Saat dimana aku berhasil menggapai impian perjalananku dengan peluh dan derita. Namun semuanya sirna seketika saat aku menerima kabar bahwa Bapakku tercinta telah meninggalkan dunia fana ini selama-lamanya.....
Memasuki Kota Ujung Timur Pulau Flores: Larantuka
Sabtu, 5 Agustus 2006 sekitar jam setengah enam sore waktu setempat akhirnya akukota Larantuka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota kecil ini berada di paling ujung timur pulau Flores yang menjadi target akhir perjalanan ku sebelum balik kembali menuju Jakarta. Dua puluh lima hari telah berlalu semenjak aku menggenjot kembali sepeda Polygon type Unitoga dari Jakarta pada tanggal 12 Juli 2006. Dan hari ini merupakan hari ke-110 ku dalam perjalanan bersepeda seorang diri di tahun ini dengan rute Jakarta – Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam – Jakarta – Larantuka – Jakarta yang ku mulai sejak tanggal 18 April 2006. Wuaah, tak terasa telah hampir tiga bulan aku menggenjot sepeda. Alhamdulillah hingga saat itu aku masih sanggup mengenjot sepeda meskipun badan dan perut mulai sakit-sakitan. Terutama, perut! Sudah beberapa hari belakangan ini aku sering ke belakang. Kalau ku ingat-ingat penyebabnya mungkin karena aku minum air mentah di Bajawa (kota kecil juga di Flores). Waktu itu, air yang ku minum berasa ada aroma kapurnya. Aku nekad meminumnya karena saat itu sudah nggak ada pilihan lagi. Nasib! sampai di
Begitu tiba di kota Larantuka, aku langsung mencari rumah dinas bupati untuk menemui dan meminta tanda tangan pak bupati beserta stempel resmi kabupaten agar bisa ku jadikan bukti bahwa aku telah sampai di titik paling timur pulau Flores dalam perjalanan tahun ini. Aku harus bertanya berkali-kali kepada beberapa orang yang kutemui di jalan sebelum akhirnya dapat menemukan rumah dinas bupati. Segera saja aku masuk untuk melapor dan mengutarakan niatku ke petugas jaga rumah dinas bupati tersebut. Tapi sayang, ternyata Bapak Bupati yang terhormat sedang tidak berada di tempat! Kata bapak-bapak petugas jaga, Pak bupati sedang ada tugas dinas di Jakarta. Nasib! Akhirnya aku pun cuma bisa menumpang istirahat sejenak sambil ngobrol-ngobrol dengan bapak-bapak petugas jaga. Sewaktu santai-santai tersebut tiba-tiba HP-ku berbunyi. Ternyata abangku di Jakarta yang menelponku. Seperti biasanya, ia menanyakan posisiku hari ini. Langsung saja kujawab bahwa aku telah tembus Larantuka. Kemudian aku pun berpesan pada Abangku agar memasukan di milis bahwa perjalanan ku dari Jakarta sampai Larantuka ini ku dedikasikan untuk Rahmi Awalina, seorang wanita yang ku kenal saat aku melakukan perjalanan Jakarta – Sabang – Jakarta.
Di saat istirahat, petugas jaga rumah dinas bupati memberi saran agar aku bertandang saja ke rumah dinas wakil bupati. Mereka juga memberi petunjuk arah mana yang harus ku tempuh. Tanpa menunda waktu, segera ku genjot kembali sepedaku menuju rumah dinas wakil bupati. Beberapa menit kemudian aku tiba di sana. Dasar sedang tidak beruntung, kekecewaan kembali menerpa. Saat aku melapor ke ajudan wakil bupati yang kebetulan sedang berada di depan rumah, permohonan untuk bertemu Sang Wabup ditolak Sang Ajudan yang “ramah” dengan alasan Pak Wabup yang terhormat sedang sibuk dan akan pergi meresmikan pertandingan final bola voli antarkecamatan. Dengan memendam kekecewaan besar, tanpa basa-basi aku langsung cabut dari rumah pejabat tersebut. Sempat terlintas dalam benak ku. Mungkin mereka mengira kalau aku ini adalah seorang pengemis yang mau meminta-minta. ”Ah biar aja dech,” begitu pikirku, ”positif thinking ajalah”! ”Toh perjalanan panjang ku bersepeda ini tak mungkin tidak akan punya makna sama sekali hanya karena aku tidak bisa bertemu dengan para Penguasa Daerah”.
Dalam keremangan malam, ku genjot sepeda untuk mencari warung nasi masakan padang. Sebenarnya perut ini sudah berteriak terus semenjak tadi sore tapi sengaja ku tahan untuk sekedar bisa bertemu muka terlebih dahulu dengan para penguasa. Saat menuju kota ini dari kota Maumere pagi tadi, aku sudah berniat: bila nanti tiba di Larantuka, aku akan makan di warung padang sekenyang-kenyangnya. Ku tembus hari yang semakin gelap. Mata kuarahkan terus ke kanan dan kiri jalan untuk mencari warung nasi padang. Saat itu waktu menunjukkan jam 8 malam lebih. Pada jam begini, kondisi di Larantuka lebih gelap dibandingkan pada jam yang sama di Jakarta. Setelah beberapa ratus meter menggenjot sepeda, sebuah warung padang yang tidak terlalu besar di sisi kanan jalan tertangkap mata ku. Seketika ku hentikan laju sepeda. Ku parkir sepeda di depan warung dan segera ku pesan seporsi masakan padang dengan lauk ikan laut. Wuihh…lezat sekali rasanya! Maklum, aku sudah lapar berat! Dengan lahap ku terjang semua makanan tersebut. Tiba-tiba, tanpa sengaja aku teringat wajah Rahmi, sosok wanita padang anggota KOMMA Pecinta Alam Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang Sumatera Barat.
Mas Ibrahim Yang Baik Budi
Setelah perut terisi penuh aku segera menuju ke masjid yang ada di pinggir kanan jalan untuk menumpang tidur dan menunggu datangnya fajar esok hari. Saat memasuki masjid, aku mendapat sambutan ramah dari Mas Ibrahim, pengurus masjid. Belum lama aku ngobrol-ngobrol dengan Mas Ibrahim, HP kembali berbunyi penanda ada pesan singkat yang masuk. Ternyata Abang ku mengirimkan sms. Dia memberi kabar bahwa Bapakku tercinta masuk rumah sakit pagi tadi. Ia juga menyarankan agar aku bisa segera pulang dengan naik kapal laut. Kaget bukan kepalang aku membaca pesan singkat itu. Terpikir olehku bahwa kondisi Bapakku pasti sangat lemah dan mungkin lebih buruk dari saat pertama kali beliau masuk rumah sakit sekitar 4 bulan yang lalu.
Seketika itu juga pikiran ku kacau. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Bila harus menumpang kapal laut dari Larantuka menuju Jakarta sangat tidak mungkin karena pelayaran hanya ada 2 minggu sekali. Ingin naik pesawat udara pun sulit. Penerbangan dari bandara Larantuka terbilang jarang. Bahkan kabarnya setiap pejabat daerah yang akan keluar kota, khususnya ke Jakarta, lebih memilih terbang melalui kota Maumere yang berada cukup jauh di sebelah barat kota Larantuka. Selain itu, aku tidak punya cukup uang! Bila aku harus menembus jalan darat lagi dengan bersepeda jelas-jelas lebih tidak mungkin!!! Pulau Flores adalah pulau dengan pegunungan yang membentang dari barat hingga ke timur. Oleh karenanya, medan jalan yang harus dilalui sangat berat. Apalagi bila bersepeda! Dengan medanku tempuh pada pagi hingga menjelang malam saja). Di samping itu, tenaga sangat ekstra harus disiapkan dengan baik. Bukan bermaksud menyombongkan diri, bila boleh berpesan, “kalo nggak punya mental tinggi dan fisik yang prima, jangan sekali-kali menyusuri pulau Flores ini dengan bersepeda. Apalagi seorang diri!!!” penuh tanjakan dan turunan yang sangat panjang akan memakan waktu paling tidak 6 hari untuk menempuh dari barat ke timur atau sebaliknya (catatan: perjalanan hanya
Membayangkan hal itu pikiran ku bertambah ruwet. Sempat terlintas hal terburuk yang akan terjadi pada diri Bapakku. Namun Mas Ibrahim segera menenangkan diri ku dan mengajak ku masuk ke dalam masjid. Sepeda kuparkir di samping masjid, kukunci dan kukaitkan pada sebuah steger aluminium yang ada di sana. Sesaat kemudian Mas Ibrahim pamit pulang tapi ternyata ia kembali lagi dengan membawa 4 bungkus kecil nasi kuning dan 3 gelas aqua gelas. Ia langsung mempersilakan aku untuk makan dan meminta aku untuk menenangkan pikiran. Ia pun memberi banyak nasihat agar aku banyak berdoa dan berpasrah diri kepada Allah SWT. Tak lama kemudian ia pamit pulang dan mengucapkan selamat tidur seraya menutup pintu masjid meninggalkan aku seorang diri.
Sepeninggalan Mas Ibrahim, aku langsung merebahkan diri dengan sleeping bag sebagai alas tidur. HP ku yang sudah butut (bukan blue tooth lho), kuletakkan di samping kepala. Sengaja aku belum ingin tertidur karena telah berjanji pada Rahmi untuk menelponnya pada jam 11 malam. Tapi ternyata aku tertidur juga. Jam 12 malam aku bangun dan kaget karena HP sudah tidak ada lagi di dekat kepalaku. Kontan aku stress berat karena membayangkan aku tidak akan bisa dipantau oleh abang ku lagi. Memang aku membawa dua buah HP (yang sama bututnya). Yang satu berisi kartu IM3 dan yang satu lagi berisi kartu Simpati. Selama perjalanan di Nusa Tenggara, kartu IM3 hampir jarang mendapat sinyal. Kartu Simpati-lah yang ku andalkan sebagai media komunikasi dengan abang ku maupun teman-teman. Nah HP yang berisi kartu Simpati itulah yang saat ini hilang!
Segera ku acak-acak sleeping bag. “Siapa tahu terselip”, pikirku. Setelah ku cek ternyata tetap tak kutemukan HP tersebut. Ku lihat pintu masjid sedikit terbuka. Aku pun langsung berjalan keluar karena kupikir pasti ada yang telah mengambil HP milikku. Di luar masjid, kulihat dua anak muda lokal sedang begadang sambil minum minuman keras. Kudatangi mereka dan bertanya baik-baik apakah mereka melihat ada orang yang masuk ke masjid atau tidak. Mereka menjawab tidak tahu. Tak lama kemudian seorang anak muda lainnya datang dan bertanya. Kujelaskan padanya bahwa aku telah kehilangan HP di dalam masjid. Aku pun meminta anak muda tersebut untuk mengantar ku ke rumah Mas Ibrahim. Namun sebelumnya, aku kembali masuk masjid untuk mengamankan barang-barang ku yang lain.
Saat aku kembali ke masjid bersama Mas Ibrahim, salah seorang dari anak muda yang nongkrong di depan masjid tersebut bertanya lagi kepada ku sambil mengikuti kami ke dalam masjid. Saat berada dalam masjid, aku tersadar kalau aku masih memiliki satu buah HP lagi. Kugunakan segera HP tersebut untuk menghubungi nomor HP ku yang hilang seraya berharap terdengar bunyi dari HP tersebut. Dan benar saja, sesaat kemudian terdengar bunyi dari HP ku yang hilang. HP itu ternyata berada di pojok dalam masjid dan bukan dekat sleeping bag tempat aku meletakkannya pertama kali. Aku pun langsung bersyukur dan mengucap alhamdulillah. Siapapun yang telah memindahkannya tak ku ambil peduli lagi. Bagi ku, HP tersebut telah ketemu lagi saja sudah bersyukur banget. Saat ini, HP tersebut sungguh merupakan barang yang sangat vital bagiku. Setelah menyempat ngobrol-ngobrol kembali dengan Mas Ibrahim, aku pun pamit tidur. Meski masih dirundung perasaan yang tidak tenang dan gelisah, kupaksa agar bisa tertidur. Lelah yang menderaku sepanjang hari, akhirnya membuatku tertidur pulas.
Kumandang adzan subuh membangunkanku dari mimpi. Bergegas aku mengambil air wudhu untuk sholat berjamaah. Selesai sholat aku langsung membereskan peralatan dan mengikatkannya ke atas bagian belakang sepeda. Sebelum berangkat, Mas Ibrahim datang membawakanku dua buah nasi bungkus. Yang satu untuk sarapan dan yang satu lagi untuk bekal di jalan, begitu tutur Mas Ibrahim. Setelah sarapan dan semua persiapan beres, aku menuruti saran Mas Ibrahim untuk menunaikan sholat hajat sebelum meninggalkan Larantuka.
Ledakan Maha Dahsyat di Pagi Hari….!
Berulang-ulang kali aku mohon pamit pada Mas Ibrahim seakan tidak ikhlas meninggalkan sahabat baruku yang sangat berkepribadian mengesankan tersebut. Tak lupa kuku tinggalkan Mas Ibrahim seraya mulai mengayuh sepeda dengan mengucapkan takbir memohon kebesaran NYA agar melindungi bapakku. Aku menangis hebat setiap memikirkan keadaan Bapakku. Masih teringat segar dalam bayanganku saat Bapakku dirawat di rumah sakit empat bulan lalu sebelum aku memulai petualangan tahun ini. Di malam hari selama ia terbaring di rumah sakit Sunter Agung, aku selalu menemaninya. Saat aku akan memulai petualangan ini, beliau telah dinyatakan sembuh oleh dokter. Dan saat 74 hari kemudian aku berhasil kembali tiba di Jakarta dari perjalanan menuju kota Sabang pulang pergi, beliau pun tampak segar bugar. Kebugarannya inipun tampak sebagaimana saat aku memulai perjalanan ke Larantuka. Sedih rasanya membayangkan beliau masuk ke rumah sakit kembali. Perasaan kalut pun semakin bertambah bila terbayang medan yang harus kulalui beberapa hari ke depan sangat kejam dan akan memakan waktu lama. Aku benar-benar pusing! memohon pada Mas Ibrahim agar turut pula mendoakan kesehatan Bapakku yang sedang terbaring di rumah sakit Husada Jakarta. Dengan penuh linangan airmata dan perasaan yang sangat kacau,
Sepeda kugenjot dengan paksaan agar bisa segera tiba di Maumere. Jarak yang kutempuh baru mencapai sekitar 20 km dari Larantuka dengan posisi berada pada sebuah tanjakan di jalan yang sangat sepi, saat HP ku berbunyi. Spontan tanganku meraih HP tersebut. Terdengar jelas abangku mengatakan bahwa Bapakku baru saja menghembuskan nafasnya yang terakhir! Innalillahi wainnalillahi rojiun....
Bagai diterpa sebuah ledakan luar biasa, sekujur tubuhku seketika bergetar dan lemas. Kengerian yang kubayangkan namun tak pernah sedikitpun kuharapkan, akhirnya terjadi!!! ”Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....!!!!”, aku berteriak keras dan menangis sejadi-jadinya di tempat sepi itu. Aku termangu dan marah pada Abangku yang kuanggap tak bisa menjaga Bapak dengan baik hingga malaikat maut mampu mengambil nyawanya dengan mudah. Ingin rasanya menantang duel pada malaikat maut yang telah merenggut nyawa bapakku itu. Seketika aku marah! Aku muak dengan doa! Ternyata semuanya nggak ada gunanya! Bahkan sholat hajat dua rokaat ku sesaat akan meninggalkan Larantuka dan juga doa dari mulut Mas Ibrahim, nggak ada gunanya!!! Yah, SEMUA DOA DAN IHKTIARKU SIA-SIA DAN NGGAK ADA GUNANYA!!!
Aku bahkan juga marah pada Allah. Kuberteriak keras menggugat diri Nya bahwa IA bukanlah Maha Pengasih dan Maha Pemberi. Buktinya, Bapakku tercinta diambil tanpa memberiku kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan perjalananku ini. Padahal, aku telah bernadar setiba di Jakarta nanti dan melihat bapakku dalam keadaan sehat, aku akan membaca surat Yaasin selama dua minggu penuh dan akan menjaga bapak-ibuku baik-baik di hari tua mereka hingga akhir hayatnya. Namun apa yang kuhadapi sekarang ini?!!! DIA begitu tega dengan keadaanku yang belum siap menerima semua kenyataan ini. Padahal selama ini aku selalu terus mengingat-Nya dan berdoa agar semua keluarga yang kucintai diberikan perlindungan selama aku melakukan perjalanan panjang ini. Kini semua sia-sia! Keyakinan ku goyah. Timbul keraguan dalam diri ku akan kemahapengasihan-Nya. Tapi apa mau dikata, DIA yang punya kuasa. Aku sadar andai kita mengamuk dan menjadi buta lalu berpaling dari-NYA kemudian terjerumus ke dalam limbah dosa maka kita juga yang akan merugi karena di hari akhir nanti kita pasti akan kembali pada-NYA dan akan mendapat hukuman yang nggak bisa aku bayangkan siksaannya. Aku pun jadi serba salah!
Dalam keadaan bingung, setiap pengendara yang lewat di depanku aku stop dan kutanya tentang jadwal pesawat di Larantuka maupun di Maumere yang menuju Jakarta. Sempat aku mendapat informasi yang salah dan hampir saja aku kembali lagi ke Larantuka untuk mengejar pesawat menuju pulau Jawa. Akhirnya kuperoleh kepastian bahwa pesawat menuju pulau Jawa lebih mudah diperoleh dari kota Maumere. Tak lama kemudian HP ku berbunyi kembali. Kali ini kakak perempuanku yang memberikan kabar tentang hal yang sama. Ia juga menyampaikan bahwa jenazah bapak akan dibawa hari ini juga dari Jakarta menuju desa kelahirannya di pingiran kabupaten Magetan Jawa Timur. Kembali aku menangis meraung-raung meratapi kenyataan nasib berada jauh dari Jakarta tanpa teman, tanpa tawa, dan hanya sunyi sepi yang ada. Aku benar-benar sangat sedih. Inilah kali pertama dalam hidupku aku mengalami kepedihan luar biasa. Aku pun kembali mengutuk takdir! Takdir yang sangat menyakitkan hati dan telah memporak-porandakan perjalananku. Takdir yang juga telah menghancurkan diriku. Jujur saja, inilah saat yang selama ini aku takuti dalam hidupku. Sungguh aku tak sanggup menghadapi kenyataan akan kematian orang-orang yang kusayangi, terutama BAPAK dan IBU ku. Sungguh aku muak dengan semua ini!
Dalam keadaan menangis ransel kulepaskan dari ikatan sepeda dan kubereskan semuanya. Kucopot sandal yang saat itu kupakai dan kuganti alas kakiku dengan sepatu. Barang-barang yang kuanggap tidak diperlukan, aku buang begitu saja di pinggir jalan sampai ketika seorang bapak tua menghampiriku dan bertanya perihal aku menangis. Ku jawab pertanyaan bapak tersebut dengan tangisan dan memberikan semua barang-barang yang semula kubuang kepadanya.
Setelah menunggu cukup lama di pinggir jalan, lewatlah dua buah mobil dinas pejabat yang kutahu dari plat nomornya. Ternyata kedua mobil tersebut dikemudian oleh supir-supir pejabat daerah. Mereka mengatakan akan menuju bandara di Maumere untuk menjemput atasan mereka masing-masing, yaitu Wakil Ketua DPRD dan Ketua Bapeda. “Kebetulan,” begitu pikirku. Kuutarakan masalah yang sedang menimpa diriku. Dengan senang hati sang supir Ketua Bapeda mau memberikan tumpangan padaku. Hanya saja ia bingung mau diletakkan dimana sepeda yang kubawa. Aku pun bingung dengan keberadaan sepedaku. Saat ini yang ada dalam benakku adalah bagaimana caranya agar aku bisa segera tiba di Jakarta untuk melihat jenazah Bapakku tercinta. Saudara ataupun kerabat tak kumiliki di pulau ini. Uang yang ada dalam saku pun rasanya tidak akan cukup untuk membeli tiket pesawat. Demikian pula dengan sepeda yang telah setia menemani perjalananku selama ini, ia pun tak mungkin kubawa serta dengan pesawat.
Dalam kepanikan tersebut, terlintas pikiran singkat untuk menjual sepeda tersebut. Kutawarkan niat itu kepada sang supir yang hingga kini tak pernah kuketahui namanya karena saat itu tak terpikirkan olehku untuk bertanya tentang hal tersebut. Sang supir setuju. Hanya saja ia cuma mampu menawar 200 ribu rupiah. Mendengar angka tersebut semakin lemas tubuhku. Betapa tidak. Sepeda pemberian PT Polygon Cycle seharga lebih dari satu juta rupiah yang memiliki sejarah bagiku karena telah menemaniku dalam perjalanan Jakarta–Sabang–Jakarta–Larantuka dan bahkan menemaniku pula hingga puncak gunung Sinabung di Sumatera Utara hanya sanggup dibayar sebesar itu. Dalam keputus-asaan, kukatakan bagaimana bila 500 ribu rupiah. Kujelaskan pada sang supir bahwa bila saja aku tidak ditimpa kemalangan dan bisa tiba kembali ke Jakarta kemudian ada orang yang berniat ingin membeli sepedaku maka pasti kukatakan bahwa aku tak akan pernah menjual sepedaku dengan harga berapa pun! Sang supir sangat mengerti maksudku, ia pun ingin sekali membantu kesusahanku. Sayangnya ia tidak memiliki cukup uang. Akhirnya ia pun hanya berani membayar sepedaku dengan harga 300 ribu rupiah saja. Tak ada lagi pilihan untukku! Dengan sangat terpaksa dan penuh penyesalan kuterima tawaran tersebut.
Oleh sang supir sepeda dititipkan di sebuah desa yang berada di bawah yang berjarak sekitar 1 km dari tempat kami bertemu. Menurut sang supir pada jam 12 siang nanti kebetulan ada pesawat menuju Surabaya. Ia pun memacu mobilnya dengan sangat kencang. Ia bercerita biasanya ia mampu menempuh Larantuka ke Maumere hanya dalam waktu 2,5 jam. Aku pun terperangah. Dengan bersepeda kubutuhkan waktu satu hari penuh untuk menempuh jarak tersebut. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku memikirkan kenyataan yang aku sendiri tidak mampu untuk mengerti. Aku masih tak percaya kalau bapakku tercinta telah meninggal dunia di Jakarta sana. Untuk sejenak melupakan kenyataan pahit yang sedang kuhadapi, kadang aku mencoba mengomentari setiap jalan yang kami lalui yang dua hari lalu kulibas dengan genjotan sepeda. Dari caranya menyetir, aku bisa merasakan betapa ia sudah familiar dengan medan yang penuh dengan tanjakan dan turunan serta berliku. Aku sama sekali tidak khawatir meskipun ia menggeber mobil tersebut dengan kecepatan tinggi. Akhirnya, pukul 11 siang kami tiba di bandara Waioti Maumere. Aku sangat bersyukur sudah bisa tiba di sana sebelum pukul 12 siang. Bila saja aku menumpang bus umum, aku yakin tidak mungkin tiba dengan cepat di tempat ini. Rupanya Allah masih sayang padaku.
Jujur saja aku belum pernah naik pesawat. Aku sungguh tidak tahu bagaimana tata cara membeli tiket dan seterusnya. Kuberanikan diri untuk mendatangi loket penjualan yang ada, yaitu Merpati. Kuanggap saja saat ini aku seperti akan membeli tiket bus malam. Namun sebelumnya aku sempat bertanya kepada seorang petugas berseragam bandara dimana letak ruangan kepala bandara. Kuutarakan maksudku untuk bisa memperoleh potongan harga seperti yang kulakukan bila aku akan naik kapal feri penyeberangan. Dijawab petugas tersebut bahwa karena hari ini adalah hari minggu maka kepala bandara tidak masuk kantor. Dengan lunglai, akhirnya kudatangi loket Merpati. Kusampaikan kembali niatku untuk bisa mendapat keringanan harga namun karyawan merpati hanya menggelengkan kepala sambil berkata bahwa permintaan keringanan harga ditujukan kepada kantor cabang dan bukan pada loket penjualan tiket. Dan dengan terpaksa aku membeli tiket tujuan Denpasar Bali seharga 750 ribu rupiah. Jumlah uang yang terbilang besar bagi diriku yang seorang pedagang kaki lima musiman ini. Sebenarnya sasaran tujuanku adalah kota Surabaya yang harga tiketnya mencapai Rp1.060.000. Namun karena tiket tujuan kota tersebut telah habis dan uang yang kumiliki pun tidak cukup untuk membeli tiket tersebut maka tiket menuju Bali pun tidak masalah bagiku. Yang penting jarak menuju pulau Jawa semakin pendek, begitu pikirku cepat.
Saat waktu keberangkatan tiba, tak lupa aku mohon pamit dan berterima kasih pada supir kepala bapeda yang telah menolongku. Mengingat betapa besar jasa pertolongannya padaku, maka segera saja kuikhlaskan sepedaku yang telah berpindah tangan itu. Selama perjalanan mengendarai mobil dengannya, sebenarnya aku masih berat melepas sepedaku itu. Saat akan menaiki tangga pesawat aku merasa diriku teramat bodoh. Benar-benar seperti orang kampung pedalaman yang baru saja masuk ke kota besar! Namun aku sama sekali tidak merasa bangga bisa naik pesawat terbang karena perasaan teramat sedih yang sedang menerpa. Dan aku nggak mau merasa senang di atas kesedihan yang sedang aku alami. Sepanjang penerbangan aku lebih banyak melamun dan merenung tentang sebuah kehidupan dan kematian yang ternyata berjarak sangat dekat. Ternyata kehidupan dunia lebih banyak menutup mata hati kita sehingga tidak pernah membuat kita bersiap siap menghadapi kematian. Seperti diriku saat ini!
Bantuan Berharga dari Sahabatku Toto Togog
Selama berada di atas pesawat aku cuma mendapat sebungkus kotak snack yang berisi tiga buah kue dan segelas teh hangat. Setelah 1,5 jam terbang kami pun tiba di bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali. Cepat sekali perjalanan ini pikirku. Di bandara, rekan milisku Toto Togog telah menanti kedatanganku. Aku memang telah menghubunginya saat aku masih berada di Maumere. Kukatakan padanya saat itu, bila ia ingin menolongku maka inilah saat yang tepat untuk membantuku. Kukatakan demikian karena saat aku tiba di Bali beberapa minggu yang lalu, Toto mengutarakan keinginan untuk membantuku namun kutolak karena aku memang tak ingin menyusahkan teman. Kukatakan pula bahwa bila suatu saat nanti aku butuh bantuan maka aku pasti akan menghubunginya. Dan saat ini, aku memang membutuhkan bantuannya! Kuceritakan tentang kepergian bapakku selama-lamanya dan keinginanku untuk bisa bertemu dengannya walau hanya berupa jasad. Kukatakan pula pada Toto bahwa aku sudah tidak memegang uang lagi saat ini. Bila ia memang ingin membantuku, aku minta tolong padanya agar meminjami aku sejumlah uang untuk membeli tiket pesawat Denpasar-Surabaya dan tiket bus Surabaya-Madiun. Alhamdulillah Toto setuju.
Di bandara Ngurah Rai, Toto membeli tiket menuju Surabaya seharga 550 ribu rupiah. Harga yang cukup mahal karena harus dibeli lewat calo. Kami terpaksa membeli melalui calo karena pada loket-loket resmi dikatakan bahwa semua tiket telah habis terjual! Toto pun memberikan uang sebesar Rp150.000 kepadaku untuk biaya melanjutkan perjalanan nanti setibaku di Surabaya. Sehingga jumlah keseluruhan uang yang kupinjam dari Toto adalah Rp700.000. Terus terang saja, hingga tulisan ini kubuat aku belum mengembalikan pinjaman tersebut karena Toto tidak mau memberikan nomor rekening banknya padaku. Ia malah tertawa setiap kali menanggapi sms ku yang memintanya untuk mengirimkan nomor rekening. Akhirnya kukatakan padanya bahwa tahun depan aku akan naik sepeda lagi menuju Bali dan akan mengantarkan uang itu secara langsung.
Sambil menunggu jam keberangkatan menuju Surabaya, aku sempat makan nasi padang yang ada di halaman bandara dengan menu sepiring nasi dan lauk telor seharga 10 ribu. Karena masih lapar, aku ditraktir makan sate di luar lingkungan bandara oleh Toto dan diantar pula oleh dua orang teman Toto yang ikut menemuiku di bandara. Menjelang gelap saat magrib akan tiba, aku pamit pada Toto dan kedua temannya. Tak lupa kuucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Toto yang sangat luar biasa yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hayatku. Segera aku check-in dan masuk ke dalam ruang tunggu. Setelah boarding pada pukul 7 malam waktu setempat, setengah jam kemudian pesawat lepas landas menuju bandara Juanda Surabaya. Di sebelah kananku duduk seorang bapak. Kuberanikan diri untuk bertanya padanya tentang seberapa jauh jarak dari terminal kedatangan Juanda di Surabaya menuju jalan raya. Bapak itu pun menjawab lumayan jauh. Lalu kutanya lagi apakah ada bus damri dari bandara yang menuju terminal bus Bungur Asih. Kutanyakan demikian karena bila aku harus naik taksi, biayanya pasti mahal. Bapak itu pun menjawab lagi bahwa kalau sudah malam bus Damri sudah tidak beroperasi, angkutan umum yang ada hanya tinggal taksi. Lalu aku memohon pada bapak itu agar aku diperbolehkan menumpang sampai jalan raya utama seandainya ia akan naik taksi. Bapak itu menanggapi permintaanku tadi hanya dengan tertawa kemudian terdiam, walau aku menjelaskan padanya tentang kisah perjalananku bersepeda seorang diri yang berakhir dengan berita duka dari Jakarta!!!
Sesaat kemudian aku tertidur. Tenaga dan pikiranku benar-benar sangat terasa lelah. Belum lama tertidur aku terbangun karena dibangunkan oleh bapak disebelahku dan mengatakan kalau pesawat sudah mendarat di bandara Juanda. Sebentar banget penerbangannya pikirku dalam hati. Mungkin nggak ada satu jam! Lalu bapak itu berpesan agar aku hati-hati di jalan sambil memberiku uang 50 ribu rupiah. Aku kaget dan agak sungkan untuk menerimanya. Aku merasa seperti pengemis. Aku tidak tahu apakah ia memberikannya karena takut padaku atau karena kasihan. Dilihat secara fisik, saat itu tubuhku memang kumal sekali dengan pakaian dekil dan rambut panjang yang menggimbal karena jarang keramas. Ditambah kulit tubuhku yang legam terbakar matahari. Aku sebenarnya masih punya uang 150 ribu hasil pinjaman dari Toto tapi aku tidak berani menggunakannya secara sembarangan sebelum aku bisa tiba di desa kelahiran bapakku. Dan juga, aku berpikir agar sebisa mungkin untuk bisa memperkecil utangku pada Toto. Aku terpaku saat menerima uang pemberian sang bapak yang tidak kuketahui namanya itu. Ia langsung berlalu dari hadapanku dan bergegas turun dari pesawat sedangkan aku menunggu penumpang lain turun karena nggak mau berdesak- desakan.
Setelah mengambil ransel di ruangan pengambilan bagasi di bandara, aku bertanya pada seorang satpam bandara apakah ada angkutan yang murah untuk menuju terminal bus Bungur Asih. Pak satpam itu pun menganjurkanku untuk berjalan lurus ke areal tempat parkir sepeda motor karena biasanya akan ditawari oleh tukang ojek motor yang tarifnya jauh lebih murah daripada naik taksi. Aku pun mengikuti saran pak satpam tadi. Dan benar saja, seorang lelaki menawarkan ojek dengan tarif 20 ribu menuju terminal Bungur Asih. Lalu aku tawar 15 ribu dan mas pengojek setuju. Aku pun meluncur berboncengan menuju terminal bus Bungur Asih Surabaya. Setiba di terminal bus, aku langsung naik bus jurusan Solo Jawa Tengah sesuai saran abangku via sms saat aku masih di Bali. Karena rute bus jurusan Solo ini akan melalui jalan raya yang akan mengantarkan aku ke desa Patian Kecamatan Karang Rejo Kabupaten Magetan Jawa Timur, tempat peristirahatan terakhir bapakku tercinta.
Bertemu Bapakku Tercinta yang Telah Terbungkus dalam Peti.
Tarif bus yang membawaku ke pinggiran kota Madiun adalah Rp19.500. Ini berarti uang pemberian seorang bapak di pesawat tadi masih tersisa Rp20.500. Aku terpaksa berhemat karena telah banyak pengeluaranku untuk membayar tiket pesawat yang gila-gilaan. Selama berada di dalam bus aku tertidur tapi sesekali bangun untuk mengetahui apakah tujuan sudah dekat atau belum. Saat tengah malam, aku tiba di pinggiran jalan raya Madiun-Ngawi. Aku turun di depan kecamatan glodog dan langsung naik becak menuju desa Patihan. Kembali aku bersyukur kepada Allah karena telah mengijinkan aku tiba di kampung halaman bapakku. Sungguh Engkau tidak membenci diriku meskipun tadi pagi aku menghardik-Mu dengan keras. Aku sadar hanya karena kebesaran-Mu lah aku bisa tiba di tempat ini yang sebelumnya aku berada pada sebuah pinggir jalan raya di sebuah hutan di pinggiran kota Larantuka, NTT. Allahu Akbar. Engkau sungguh Maha Besar.
Saat tiba di gubuk tua dan sederhana milik bapakku yang dihuni dan dirawat oleh saudara bapakku, waktu menunjukkan pukul 12 malam. Ternyata aku tiba lebih awal dibandingkan rombongan yang membawa jenazah bapakku. Kutanya abangku via sms tentang posisinya saat itu. Ia menjawab bahwa ia dan rombongan baru berada di kota Salatiga. Namun, katanya lagi, ambulans berada jauh di depan mereka. Aku pun menunggu dengan tidak sabar. Kegelisahan dan rasa kepedihanku masih kental terasa. Aku tidak bisa tidur. Tak sabar aku menunggu kedatangan jenazah. Perih hati ini rasanya bila membayangkan akan bertemu bapakku hanya dalam bentuk jasad saja. Yaa Allah berikanlah keteguhan iman pada diriku.
Senin, 7 Agustus 2006, sekitar pukul 3 dini hari ambulans datang. Seketika badanku gemetar menyaksikan peti jenasah yang berisi bapakku. Kukuatkan hati untuk ikut mengangkat peti jenasah dan meletakkannya ke dalam rumah di ruang tamu. Lalu aku bengong penuh tatapan kosong duduk di sebelah peti dan masih tak percaya atas apa yang kulihat dihadapanku. Lebih perih lagi karena aku tidak dapat melihat wajah bapakku untuk terakhir kalinya. Jenasah dalam tiga lapis balutan kain kafan telah tertutup dalam peti dan tidak boleh buka kecuali saat jenazah akan dimakamkan. Larangan ini disebabkan karena jenazah bapakku telah 20 jam sejak kematiannya. Proses pembusukan jasad pasti telah terjadi. Yang bisa kulakukan hanyalah mencari info dari beberapa kerabatku yang ikut serta dalam ambulans. Cerita para kerabatku dapat sedikit menenangkan hati meskipun tak bisa menghilangkan kepedihan. Setelah mendengarkan cerita dari mereka, aku kembali duduk termenung di sebelah peti jenasah dan menangis penuh penyesalan karena aku tak bisa menemani bapakku di saat-saat terakhirnya. Aku juga menyesal karena melakukan perjalanan ke Larantuka. Bila saja aku tahu bahwa ajal bapakku sudah dekat, aku pasti takkan ingin jauh darinya. Yang tersisa kini tinggallah penyesalan. Aku sadar sepenuhnya bahwa tidak ada satu pun makhluk di bumi ini yang mampu mengubah sesuatu yang telah menjadi ketentuan Allah.
Ingatanku menerawang jauh ke masa lalu ketika aku masih kecil dan saat-saat bapakku masih sehat dan menyayangi kami anak-anaknya dengan penuh cinta dan keikhlasan. Mulai detik ini, seperti yang kurencanakan sejak awal keberangkatanku ke Sabang, aku berkata dalam hati bahwa keseluruhan perjalanan ini secara KHUSUS AKU DEDIKASIKAN UNTUK BAPAKKU TERCINTA YANG BERPULANG SELAMA-LAMANYA SAAT AKU DALAM PERJALANAN MENINGGALKAN LARANTUKA MENUJU ARAH PILANG.
Aku terus merenung sambil menangis, aku tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi hidup ini selanjutnya tanpa bapak disisiku. Bahkan aku berpikir apakah aku akan sanggup bertahan hidup karena aku begitu sayang dan cinta padanya. Sayangku padanya melebihi rasa sayangku pada diriku sendiri. Bila saja kematiannya boleh kugantikan maka dengan senang hati akan kulakukan. Aku selalu mengharap agar bisa dipanggil oleh NYA lebih awal dibandingkan kedua orang tua dan keenam saudara-saudaraku karena aku takkan kuasa menyaksikan orang-orang yang kucintai berpulang kepada NYA. Tapi keinginan tinggallah keinginan. Kenyataannya saat ini adalah aku harus melihat bapakku yang meninggal lebih dulu menghadap Allah SWT, Dzat yang Maha Dahsyat pencipta alam semesta ini. Awalnya, aku amat yakin kalau umur bapakku akan bisa mencapai lebih dari 80 tahun karena ia sangat rajin berolahraga, terutama lari pagi. Ia juga aktif di sebuah lembaga seni pernafasan dengan level yang sudah cukup tinggi. Sejak ia pensiun pada tahun 1988, ia secara disiplin melakukan lari pagi hingga sakit menerpanya di bulan Maret 2006 lalu. Ia masih sanggup mengikuti lomba lari marathon 10 km di saat usianya telah lebih dari 70 tahun. Cita-citaku untuk menjaga dan merawat kedua orang tuaku hingga hari tuanya sebagai balasan kasih sayang yang mereka berikan kepadaku sejak kecil kandas sudah. Kini tinggal ibuku yang masih bisa kan ku rawat. Tinggal kepadanya pulalah kan kucurahkan seluruh rasa sayangku pada orang tuaku.
Sekitar pukul 9 pagi peti jenasah bapakku diangkat ke mushola untuk disholatkan. Dengan hati hancur aku turut mengangkat begitu pula abang dan kedua adik laki-lakiku. Aku mengambil wudhu lalu sholat jenasah berjamaah. Dalam sholat aku berdoa dan memohon agar bapakku dihindari dari siksa kubur dan dijadikan tamu terhormat saat kembali menghadapNYA. Aku sangat berharap pada Allah agar bapakku benar-benar dipermudah menghadapi alam kubur dan menjadi tamu terbaik NYA. Setelah pembacaan doa dan ungkapan bela sungkawa dari para sesepuh desa serta menceritakan sedikit riwayat bapakku pada semua yang hadir, peti jenasah kami bawa menuju areal pemakaman desa yang berada tidak jauh dari mushola.
Di depan lubang liang lahat yang telah disiapkan oleh warga desa, peti pun dibuka. Baut berukiran penutup peti yang berjumlah empat buah aku kantongi untuk kujadikan kenangan hidupku. Aku dan ketiga saudaraku turun ke liang lahat menerima jenasah bapakku. Penuh hati-hati kami menerima jenasah bapak dan dengan hati bergetar penuh tangis yang tertahan aku memeluk tubuh bapak untuk terakhir kalinya tanpa bisa melihat wajahnya. Kami letakan ia di atas tanah dengan hati penuh tanya kenapa bapak meninggal begitu cepat. Setelah dikumandangkan adzan, lubang liang lahatpun ditutupi dengan tanah. Dengan berlinang air mata aku ikut menutupi lubang tersebut. Berat membayangkan bapakku kutanam dengan gundukan tanah. Namun aku segera disadarkan oleh kenyataan bahwa yang berada di dalam tanah sana hanyalah jasad belaka. Sementara ruh bapakku tetap hidup di alam yang telah disiapkan oleh Allah untuk semua mahluknya yang telah mati. Yah, semuanya sudah berakhir. Jasad bapak telah tidur di tempat peristirahatannya yang terakhir persis di samping makam ibu dan bapaknya di desa tanah kelahirannya. Semoga ia nanti tetap akan bisa tersenyum bila aku, anaknya, bisa menjamah wilayah-wilayah Indonesia dengan sepeda!!!
Selamat Jalan Sang Sosok Idola dan Tauladan Keluarga dan Hidupku...
Selamat Jalan Pria yang Sangat Sabar, Jujur, Ulet, Telaten dan Penuh Tanggung Jawab…
Selamat Jalan Pak, Selamat Tidur dengan Tenang...
Bila Saatnya Tiba Aku Pun Pasti Kan Menyusulmu...
Engkau Kan Kusimpan Dalam Hati Setiap Saat …….
Aku Sangat Cinta dan Sayang Padamu…….

Saturday, August 05, 2006

PERJALANAN: LABUHAN BAJO – KELIMUTU (FLORES, NTT)



Ini adalah jurnal perjalananku di hari ke-105 s.d. ke-108 yang merupakan bagian dari perjalanan bersepedaku seorang diri: JAKARTA – SABANG, NAD – JAKARTA – LARANTUKA, NTT – JAKARTA

Senin, 31 Juli 2006 (Hari ke-105) Perjalanan ke Arah Timur:

Pagi ini kumulai perjalananku di pulau Flores nan indah. Sejak pukul 7 pagi aku telah siap untuk mengayuh kembali sepedaku. Tubuhku terasa lebih segar setelah kemarin aku lebih banyak beristirahat di atas kapal yang menyeberangkan aku dari Pelabuhan Sape di Pulau Sumbawa ke Labuhan Bajo yang terletak di ujung barat pulau Flores. Perjalanan membelah Selat Sape selama 8 jam tersebut memang menjemukan. Tapi bagiku, itulah saat-saat dimana aku bisa beristirahat sejenak dari ”kewajiban” mengayuh sepeda.

Setelah berpamitan dengan komandan pasukan marinir yang mengijinkan aku menumpang nginap di markasnya tadi malam, segera kukayuh sepedaku ke arah pegunungan yang berdiri angkuh seolah telah menantikan kedatanganku. Target capaianku hari ini adalah kota Ruteng yang berada di dataran tinggi. Di luar dugaanku jalan yang kulalui menanjak terjal. Kewalahan juga aku dibuatnya. Saat lepas dari Labuhan Bajo, di sisi kanan jalan yang kulalui berupa tebing nan tinggi sementara di sisi kiri berupa jurang yang di bawahnya menganga pemandangan laut nan indah. Setelah itu jalan terasa tidak ada yang menurun. Tanjakan-tanjakan terjal sering memaksaku untuk menuntun sepeda Polygon yang kubawa. Sungguh menguras tenaga! Bila dibandingkan dengan kondisi jalan menanjak di Sumatera, maka jalan menanjak di Flores ini tak tertandingi. Ibaratnya, bila tanjakan di Sumatera adalah sebuah bukit maka tanjakan di Flores adalah sebuah gunung tinggi!

Dengan kondisi jalan seperti itu, jarak yang berhasil kutempuh hanya beberapa puluh kilometer saja. Saat gelap mulai menyerang aku tiba di Desa Paang Lembar Kabupaten Manggarai Barat. Aku sempat kebingungan di desa ini. Aku tidak tahu dimana harus menginap dan menunaikan sholatku. Tidak kutemui masjid ataupun musholah di desa ini. Sebelum aku sempat mencari rumah kepala desa, seorang pemuda bernama Avelinus Jaman menegur dan bertanya ke arahku. Tak kusangka, ia segera bersimpati kepadaku setelah kuceritakan maksud dan tujuan perjalananku ini. Ia pun mempersilakan aku untuk bermalam di rumahnya yang sederhana. Bahkan aku diijinkan menunaikan sholatku di salah sebuah kamar rumahnya. Terima kasih Saudaraku....

Selasa, 01 Agustus 2006 (Hari ke-106) Perjalanan ke Arah Timur:

TANJAKAN DAN TURUNAN TERKEJAMMMMM...!!!

Setelah sarapan seadanya di rumah Avelinus, pemuda yang menolongku, segera aku berpamitan dan mengayuh kembali sepedaku sekuat tenagaku. Namun genjotan sepedaku terasa sia-sia. Tanjakan tajam yang menghadangku semakin sadis saja. Serasa sepedaku tak berhasil maju melangkah. Kusemangati diriku sendiri. Kuyakinkan diriku bahwa aku pasti mampu melalui tanjakan terjal ini. Sekitar 3,5 jam kemudian, semangatku langsung rontok. Ada rasa marah dalam diriku karena ternyata mentalku belum siap menghadapi tanjakan yang sungguh luar biasa ini yang panjangnya sekitar 30 KM . Kuakui, jalur menuju kota Ruteng inilah jalur menanjak ”tergila” yang pernah kujalani!!!

Down sudah mental dan semangatku. Kunyatakan dalam diriku bahwa rasanya aku tak akan sanggup bila harus melalui jalan itu lagi saat perjalanan pulang nanti. Ingin rasanya bisa segera tiba di jalur datar. Sempat terlintas sebuah niat, setibaku nanti di Larantuka aku akan kembali ke pulau Sumbawa melalui jalur laut saja!

”Penderitaanku” ternyata belum berakhir. Setelah kugapai kota Ruteng, jalan menurun yang sangat terjal menghadangku untuk menuju kota Mborong. Aku sunguh-sungguh mengandalkan rem sepedaku yang tak ada cadangannya. Di sisi kanan dan kiri jalan menganga jurang yang sangat dalam. Maut rasanya sudah dekat dengan diriku Sedikit saja aku lengah, maka akibat fatal yang kan kuterima. Hanya doa yang bisa membantuku melalui jalur itu. Dan saat aku berhasil tiba di kota Mborong yang berada di tepi pantai selatan Flores, segera kupanjatkan doa syukur karena aku bisa selamat tiba di sana. Sungguh tak bisa kubayangkan kejamnya jalur yang baru saja kulalui...!!!

Setelah cukup beristirahat dan sambil berusaha menghilangkan rasa shock dalam diriku, kulanjutkan kembali kayuhan sepedaku. Menjelang sore, sekitar pukul 17.00 WITA, aku tiba di kota Aimere, sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di pesisir selatan pulau Flores. Malam ini aku berisitirahat di sebuah masjid yang ada di kota tersebut.

Rabu, 02 Agustus 2006 (Hari ke-107) Perjalanan ke Arah Timur:

Meskipun kurasakan badanku masih letih, hari ini aku tetap berupaya mengayuh sepeda Polygon type Unitoga sekuat tenaga. Perjalanan hari ini memang tidak seberat kemarin.

Meskipun masih berkutat dengan jalur yang menanjak namun tidaklah securam jalur kemarin. Sekitar pukul 07.00 WITA kutinggalkan kota Aimere yang terletak di pesisir selatan pulau Flores. Kukayuh sepeda dengan rasa penat dan letih yang mulai sangat terasa. Aku bersyukur tidak ada hambatan berarti untuk mencapai kota Bajawa. Sekitar pukul 11.00 WITA aku telah berada di kota itu.

Setelah cukup beristirahat, kupaksakan kayuhanku agar bisa mencapai kota Ende sebelum hari gelap. Dengan sisa kekuatan tenaga yang kumiliki, meskipun harus melalui jalan menanjak yang berada di kaki gunung Inerie dan gunung Ambulombo, keinginanku tercapai. Sekitar pukul 17.30 WITA aku tiba di kota Ende. Saat itu hari sudah gelap. Saat kudapati sebuah masjid di kota itu, segera saja kutunaikan kewajibanku sekaligus meminta ijin kepada pengurus masjid untuk menumpang bermalam. Udara dingin yang menerpa tubuhku sepanjang perjalanan hari ini membuat tubuhku mengigil saat akan tidur. Semoga saja esok hari tenagaku pulih kembali.

Kamis, 03 Agustus 2006 (Hari ke-108) Perjalanan ke Arah Timur:

JALUR SERAAMMM...!!!

Sepanjang malam aku tertidur dengan tubuh menggigil. Vitalitas tubuhku menurun setelah diterpa perjalanan yang maha berat tiga hari kemarin. Maha berat, karena memang baru kali ini aku berhadapan dengan jalur yang sangat sadis untuk dilalui dengan bersepeda. Namun demikian, aku patut bersyukur dan berbangga telah mampu melaluinya. Perjalanan bersepeda di Sumatera pada bulan April hingga Juni lalu seolah menjadi ajang latihan bagiku untuk menghadapi medan berat di Flores ini. Aku sungguh tak tahu apakah perjalanan di depan sana, menuju Larantuka, akan lebih ringan atau lebih berat.

Saat pagi datang, kepalaku terasa sedikit pusing dan perut serasa bermasalah. Beberapa kali aku buang air besar. Aku berdoa memohon kepada Allah agar aku diberi kesehatan pagi itu. Kutunggu sampai rasa mulas diperutku berkurang sebelum kelanjutkan kembali perjalananku. Dengan kondisi tubuh yang kurang fit, akhirnya kupaksakan juga untuk meneruskan kayuhanku. Kupasrahkan diriku pada Yang Mahakuasa...!

Maut ternyata masih setia mengintai diriku. Selepas kota Ende menuju Maumere, aku melalui jalur terseram yang pernah kulalui. Di jalur ini kehati-hatian kembali dituntut karena nyawa taruhannya. Betapa tidak, jalur tersebut adalah jalur pegunungan dengan sisi kanan dan kiri menganga jurang dalam. Yang mengkhawatirkan diriku adalah karena tidak semua jalan tersebut terpasang road barriers (palang baja pengaman di sisi jalan).

Alhamdulillah, sekali lagi aku diberi perlindungan oleh Allah untuk melalui jalur tersebut dengan selamat. Sebenarnya hari ini aku berkonsentrasi untuk bisa mencapai kota Maumere, namun aku tersadar saat kakakku menginformasikan bahwa di dekatku terdapat tempat wisata yang amat terkenal, yaitu Kelimutu, sebuah gunung mirip Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat yang memiliki keunikan berupa Danau Tiga Warna. Segera saja kuarahkan sepedaku ke sana. Untuk mencapainya, jalan menanjak sejauh kurang lebih 13 kilometer harus kulalui terlebih dahulu. Setelah itu, aku harus menapaki jalan tanpa sepeda sekitar setengah jam. Sepeda kutinggalkan di tempat parkir yang telah disediakan. Allahu Akbar. Itulah kata-kata bisa kuucapkan saat melihat ciptaan Allah tersebut. Ada tiga buah danau yang letaknya tidak terlalu berjauhan di sana. Sebuah berwarna hitam. Yang lainnya berwarna kuning dan coklat kehitaman. Danau yang saat kulihat berwarna coklat kehitaman tersebut, kabarnya akan berwarna merah pada saat-saat tertentu. Setelah puas menikmati pemandangan di sana, aku pun turun kembali menuju sepeda dan selanjutnya mengayuh menuju kantor Pos Taman Nasional Kelimutu yang berada di kecamatan Kelimutu. Malam ini aku menumpang menginap di kantor tersebut setelah. Jarak yang berhasil kulalui hari ini hanya sekitar 66 kilometer!