Sunday, August 01, 2010

Catper Bersepeda Seorang Diri 2010: Manado-Makassar



Sulawesi adalah Bertahan Hidup

Tahap Persiapan
Sebenarnya masuknya aku ke pulau Sulawesi adalah hal yang konyol karena dalam perencanaan bersepeda ke Sulawesi ternyata tidak mendapat dana yang memadai. Menyusuri Sulawesi adalah rencana 2007 setelah aku melakukan perjalanan Jakarta-Banda Aceh-Jakarta-Larantuka-Jakarta tahun 2006, namun apa daya tahun-tahun berikutnyapun aku belum mampu melakukannya.

Dan saat selesai perjalanan tahun lalu mendaki 5 gunung di pulau Jawa dengan sepeda, aku menekatkan diri dengan memaksa bahwa di tahun 2010 aku, bisa ga bisa, harus masuk Sulawesi. Ku utarakanlah rencana ini pada abangku yang kuyakin dia mau membantu karena dialah satu-satunya harapanku untuk bisa menuntaskan hasrat yang menggebu ini.

Dalam step berikutnya aku juga mengutarakan niat kepada Pak Peter Mulyadi selaku manajer promosi Polygon. Aku bercerita tentang niatku untuk bersepeda di pulau Sulawesi kepadanya. Karena bagiku Polygon adalah sepeda yang biasa menemani dan membantuku dalam melakukan perjalanan-perjalanan sepeda. Aku tidak akan pernah mau melakukan perjalanan bersepeda dengan menggunakan sepeda merek lain karena aku adalah loyalis Polygon, sebagai bentuk tanda terima kasihku pada Polygon.

Dalam percakapan yang tidak lama, kujelaskan rute perjalanan sepeda 2010 kepada Pak Peter tentang perkiraan suasana jalan dan tensi ekonomi di Sulawesi, dan singkatnya beliau hanya berpesan hati-hati seraya bersedia kembali membantu perjalananku kali ini. Terima kasih, Pak…!

Tak lupa aku juga menghadap ke Pak Doni Saleh, Lurah Sunter Agung, dan mengutarakan perihal perjalananku kali ini. Dan tak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya, sekarang semua perjalanan-perjalananku selalu kulakukan untuk mengenalkan nama Sunter Agung di dunia petualangan Indonesia. Aku ingin semua penggiat petualangan tahu bahwa Sunter Agung adalah salah satu kelurahan di Jakarta utara dan mampu berbicara di Indonesia lewat perjalanan-perjalan yang kulakukan.

Aku sudah tidak mau egois dengan segala perjalanan yang hanya untuk mencari sensasi pribadi. Dan kalaupun perjalanan-perjalanan itu memang harus disombongkan secara pribadi, mungkin hal ini akan aku sombongkan hanya kepada George leigh Mallory, anakku! Karena sebenarnya hikmah dari setiap perjalananku adalah aku ingin belajar memperbaiki pikiran dan otakku dalam memandang setiap detik ke detik dalam mengarungi hidup ini atau bahasa simpelnya aku ingin mencari kebijakan diri perubahan walau 0,01%.

Memang sulit untuk menerjemahkan teori dengan praktiknya karena pada dasarnya aku masih rusak dan perlu terus untuk di servis. Mungkin masih perlu melakukan ratusan perjalanan agar aku bisa menjadi manusia yang berubah sesuai dengan rencanaku itu.

Doni Saleh adalah seorang Lurah low profil yang kukenal. Beliau begitu banyak membantuku dalam setiap kesulitan yang kadang menderaku terutama yang berhubungan dengan kebutuhannku selaku warga. Tak pernah aku mendapat kesulitan disaat aku ingin membuat KTP baru ataupun surat-surat penting lainnya. Beliau begitu ikhlas setiap membantu hal ini. Jadi aku wajib sangat hormat dan sungkan kepadanya. Mungkin kepribadiannnya merupakan contoh dan menjadi guru bagi perjalanan waktu dan umurku. Pak Doni mengangguk saat aku menjelaskan rencana perjalananku tahun ini, beliau menyimak dan mengatakan akan membantu sebisanya agar aku bisa melampiaskan “dendamku” pada Sulawesi.

Aku juga tidak lupa membuat beberapa proposal yang akan aku ajukan kepada perusahaan yang sekiranya bisa membantu perjalananku, bahkan sebagian besar ku lempar via email agar lebih mudah dan banyak sasarannya. Tapi apa daya semuanya gagal dan berantakan! Hanya indosat yang mau membantuku, itupun hanya berupa voucher pulsa, bukan dana! Namun intinya aku tetap berterima kasih walau yang diberikan itu nilainya tak seberapa dengan gilanya tensi ekonomi di Sulawesi. Sekali lagi terima kasih Indosat!

Perencanaan tanggal keberangkatan ku utarakan pada abangku agar dia bisa memesan tiket pesawat sebelum hari-H. Aku memang tidak mau naik kapal laut, mungkin selain memakan waktu yang lama, aku juga merupakan seorang yang phobia pada ombak laut hehehe, apalagi kalau kapal kecil.

Abangku memang mudah dirayu untuk perjalanan-perjalananku, maklum dia lebih greng dalam mencari rezeki daripada aku yang hanya seorang pedagang kali lima dan kuli panggul di sebuah pasar tradisional dekat tempatku tinggal, Pasar Bambu Kuning. Mungkin dia terenyuh kalau aku sampai jadi pengemis atau gembel di jalan, makanya dia sering memberiku suntikan dana kepadaku. Atau mungkin dia ingat masa kecilnya yang susah dan selalu bermain banyak denganku. Memang diantara Saudaraku yang lain aku lebih dekat dengan abangku sejak kecil. Mandi berdua bahkan buang hajat juga together..hahahahaha, lucu ya bos..

Menjelang keberangkatanku tanpa terduga aku mendapat sedikit bantuan dana dari Jubilee School dan temanku. Paling tidak aku harus bersyukur kalau aku bisa dapat tambahan untuk menambah nafas di Sulawesi nanti. Bagiku sih nilainya sangat banyak karena untuk melakukan perjalanan ke Sulawesi aku ingin bertahan hidup dari tensi ekonomi yang tinggi itu.

Tiba di Manado
Minggu, tanggal 1 Mei 2010, aku berangkat ke Bandara Soekarno Hatta dengan diantar abang dan ibuku. Tumben loh ibuku ingin ikut mengantar kepergianku, memang sih biasanya cukup start dari depan rumah. Cukup cium tangan, pipi dan doa restunya. Ibuku mungkin takut dengan perjalananku kali ini atau ingin juga sekedar jalan-jalan walau hanya ke Bandara. Maklum ibuku selalu sibuk dengan berdagang kopi, kopi susu, dan tehnya di pasar setiap hari tanpa henti….kecuali Ramadhan. Berarti ya sekedar refreshing. Sepeda sudah ku pack dalam kardus. Peralatan yang kubutuhkan pun sudah siap lalu kumasukkan ke dalam mobil kreditan abangku. Dan mobil bekas itupun meluncur di jalan raya menuju Bandara.

Gak sangka perjalananku kali ini start dari Bandara menggunakan pesawat. Kaya orang banyak duit aja! Padahal dalam hatiku berpikir pusing dan dag dig dug jika sudah mulai gowes sepeda.
Sampai di Bandara aku bertanya pada abangku tentang caranya check in. Maklum gua kan orang bego yang kagak ngerti naik pesawat walau dulu saat Bapak tercintaku meninggal dunia aku sempat naik pesawat tapi kala itu bandaranya kecil dan mudah check in. Beda dengan Bandara besar seperti Soekarno Hatta yang luas, jelimet, dan sibuk lalu-lalang manusia. Abangku ketawa. Dia bilang, “Lu cuma menang tampang sangar doang. Masa tanya orang aja ga bisa. Takut..?” Padahal menurutku tampangku gak seram malah lucu, lah wong anakku saja sering duduk dimukaku kok. Mungkin anakku bilang muka bapaknya kaya WC hehehehe. Menjelang berangkat aku sudah menampilkan wajah yang sopan, semua antingku yang berjumlah sepuluh aku lepas dan jenggotku yang biasanya kukepang, kini kupotong. Karena aku berpikir bahwa aku harus sopan dalam penampilan di tanah orang yang budayanya beda dengan Jakarta.
Setelah selesai check in, aku kembali ke luar Bandara dan menemui abang dan ibuku yang menunggu di kantin sambil menunggu jam keberangkatan pesawat yang akan membawaku ke Manado.

Selesai makan aku pamit pada ibu dan abangku. Kuantar sebentar mereka ke tempat parkir dan melepas kepergian mereka sampai mobil yang mengantarku itu menghilang di deretan mobil parkir yang berjejer. Lalu aku melangkah masuk ke dalam bandara menuju pesawat yang sudah menunggu.

Tiga jam perjalanan via udara dari Jakarta ke Manado. Dalam pesawat aku hanya duduk terdiam dan kadang tidur walau di sebelah tempatku duduk seorang wanita cantik. Maklum lagi kalem nih,,biasanya jelalatan sok akrab, ya namanya juga kadal….

Karna dalam pesawat dingin, aku sampai tiga kali pergi ke kamar kecil untuk buang air. Maklum ga biasa dengan hal yang mewah, biasanya juga kalo bepergian aku kan naik kereta api, itu juga ga bayar, main kucing kucingan sama kondektur, hitung-hitung olahraga…!

Tiba di Manado, hari menjelang magrib. Matahari perlahan pulang kerumahnya. Aku keluar bandara, berjalan sambil menyeret sepedaku yang terbungkus dalam kardus. Dan ternyata sudah ditunggu seseorang yang merupakan bekas anak buah abangku saat dia bertugas di Manado. Tanpa buang waktu aku masukan sepedaku ke dalam mobil dan meluncur ke kantor Balai Diklat Keuangan Manado. Di sini aku merakit kembali sepedaku yang terbungkus kardus lalu tidur untuk persiapan esok hari.

Pemanasan ke Bitung
Keesokan harinya, sebelum matahari nongol dari peraduan, aku sudah mulai mempersiapkan diri untuk melakukan pemanasan dengan mengayuh sepeda ke Bitung, arah timur Manado, karena Bitung adalah impianku dari dulu untuk menginjaknya. Aku teringat angan-anganku saat tahun 2000, mencoba mencari tumpangan kapal barang dari Surabaya ke Bitung tapi saat itu aku gagal mendapat kapal ke Bitung. Sejak itu aku hanya bermimpi dan bermimpi. Jadi wajar sekali kalo kini aku menginginkan kota Bitung sebagai target pemanasanku sebagai kayuhan pertama mengayuh sepeda di tanah Sulawesi.

Perjalanan antara Manado-Bitung melewati Airmadidi yang merupakan titik untuk mendaki gunung Klabat. Sempat terbesit untuk mendaki gunung itu sesuai rencana tapi aku lebih konsen ke arah bitung. Saat tiba di Bitung pun aku hanya mengambil gambar kota Bitung lalu kembali mengayuh sepeda ke Manado. Saat balik itulah di Airmadidi, aku sempatkan menatap Klabat dengan air liur menetes. Sejenak aku berpikir untuk langsung mendaki tapi sekali lagi aku masih berpikir untuk mengayuh saja dulu kembali ke Manado, mungkin dari Manado aku bisa mencari info Klabat dan tumpangan motor teman-teman Mapala di Manado, pikirku.

Di Manado aku kembali ke kantor Balai Diklat untuk menginap satu malam lalu esoknya menuju Sekretariat Mapala Avestaria Fakultas Fisip Universitas Samratulangi. Di sini aku menumpang tidur dan mencari info tentang gunung Klabat walau kenyataannya aku tidak mendapatkannya. Di samping itu aku tambah tidak berselera mendaki Klabat karena George Leigh Mallory anakku menelpon agar aku segera pulang. Pikiranku tambah pusing, mungkin Mallory kebingungan karna bapaknya tidak ada di sampingnya. Maklum anakku baru berumur 3 tahun dan masih sangat selalu rindu dengan bapaknya.

Selama di Jakarta Mallory selalu mencari aku walau aku sedang dipasar mencari duit sekalipun, dia selalu manja sama aku dan ibunya. Namanya juga anak semata wayang, anak yang lahir tahun 2007 walau aku menikah tahun 1998. Makanya saat aku pergi dia mencariku terus. Mungkin merasa sehari2nya selalu bertemu kini harus berjauhan.

Sebelum berangkat ke Manado, aku sudah menitipkan Mallory ke kampung bersama ibunya di Lampung sana agar dia lebih segar dan mengerti kampung halaman ibunya yang masih memiliki udara segar, yang sangat berbeda dengan Jakarta yang penuh polusi udara. Lagipula ibunya Mallory selalu ingin pulang bertemu ibunya di kampung, makanya dia senang kalau ditinggal pergi aku, hehehehe

Mendapat telpon dari Mallory, pikiranku jadi ngawur. Baru mulai akan bergerak tapi sudah disuruh pulang. Akhirnya tanpa berlama-lama di Avestaria dan tanpa mengindahkan selera ingin mendaki Klabat, setelah dua malam menginap aku langsung pamit pada teman-teman Aves untuk mulai meninggalkan Manado dan menyusuri jalur Sulawesi hingga mencapai Makassar di Selatan pulau.

Menyusuri Jalan Trans Sulawesi pun dimulai
Pagi setelah sarapan, aku mulai mengayuh sepeda mengikuti jalan raya di pinggiran laut utara Sulawesi. Tak kusangka baru mengayuh beberapa puluh kilo, aku sudah diberi persekot tanjakan dan ini membuatku untuk bertanya pada abangku tentang jalan raya antara Manado-Gorontalo, target awalku. Abangku bilang kalau jalur Sulawesi menuju Gorontalo dan ke Palu banyak gunung dan itu berarti jalan raya selalu mempunyai tanjakan-tanjakan yang bisa menegangkan paha. Maklum, dia pernah merasakan jalur ini pakai mobil.

Hatiku goyah terbesit pikiranku untuk mengayuh jalur Sulawesi hanya menarik garis dari Manado ke Makassar saja tanpa masuk Palu, Luwuk dan Kendari, melenceng dari rencana jalur mengikuti huruf “K” geografis pulau itu.

Aku terus mengayuh, pasrah mengikuti aspal jalan, sedikit menghibur dengan membayangkan hal-hal yang indah untuk dilamunkan. Kulalui tanjakan-tanjakan dengan keringat namun bersemangat hingga tengah hari hujan datang menghantam perjalananku. Kupinggirkan sepeda mencari tempat berteduh menunggu hujan reda.

Hampir dua jam menunggu hujan akhirnya terlihat gerimis. Kukenakan raincoat dan kembali mengayuh memaksa agar aku dapat kilometer yang lumayan daripada diam berteduh. Dan ternyata spedometerku error terkena air yang semula aku pikir tahan terhadap air. Akhirnya aku tidak bisa melihat jumlah kilometer yang telah kudapat padahal saat mengayuh Manado-Bitung-Manado aku sudah menempuh kira-kira 105km. Spedo kubersihkan dan kukeringkan lalu ku seting ulang dan kembali meneruskan perjalanan. Lewat hari menjelang magrib aku tiba di desa Tanamon. Akupun segera mencari sebuah masjid untuk menginap.

Esok harinya, setelah mandi dan sarapan nasi kuning aku mengayuh kembali menyusuri jalan dengan target Bolaang Itang tapi karena kembali aku terkena hujan perjalananku tidak bisa sesuai target. Aku hanya sampai sebuah desa yang berjarak 18km sebelum Bolaang Itang. Aku mencari sebuah masjid untuk bermalam tapi ternyata di sini anak mudanya kurang ramah. Setelah sholat Isya aku di interogasi habis-habisan. Padahal aku sudah menunjukan KTP dan surat jalan yang ku punya tapi mereka tetap tidak percaya dan sangat tidak bersahabat. Bayangkan sampai jam10 malam aku belum bisa tidur. Bahkan kurang ajarnya lagi mereka minta nomor HP Lurahku dan mengirim SMS kalo aku kecelakaan. Bangsat gak tuh…!

Untungnya, sebelumnya aku berkenalan dengan seorang anak muda asal Gorontalo yang punya calon istri tinggal di sini. Kebetulan dia sedang mengurus surat-surat kepentingan pernikahannya yang tinggal sebulan lagi. Dia seorang Jawa yang merantau mengikuti kakaknya di Gorontalo. Akupun berdialog dengannya pakai bahasa Jawa yang terasa sedang berasa di tanah Jawa. Maklum orang Jawa di Sulawesi kadang merasa senang bila bertemu satu suku walau aku hanya anak Jakarta yang kebetulan bisa bahasa Jawa karna aku masih keturunan Jawa.

Akhirnya malam itu aku dibawa ke rumah calon mertuanya dengan gerutuan anak-anak muda yang kurang ajar itu. Merekapun masih mengikutiku sampai rumah yang dituju dan bahkan ingin meracuni pikiran calon mertua teman kenalanku ini agar jangan boleh menginap. Tapi setelah adu argumen anak-anak muda itu pergi dan akupun bisa menikmati malam dengan tenang walau telat berangkat tidur. Pengalaman pahit di awal-awal perjalananku…!

Setelah sholat subuh, mandi, dan sarapan aku pamit pada keluarga calon mertua kenalanku itu dan mengucapkan banyak terima kasih atas segala kebaikan mereka. Aku bersyukur dalam suasana yang tidak enak, aku bisa dipertemukan orang-orang baik dengan diriku. Terima kasih Yaa Allah dan berikanlah mereka imbalan yang pantas.

Akupun mulai mengayuh kembali menyusuri jalan raya. Terbetik dari sini kalau aku kapok nginap di masjid selama berada di tanah Sulawesi. Aku pun mulai rajin masuk Polsek minta stempel sekedar lapor sebagai pelengkap bukti perjalanan dan keamananku selama di jalan. Melewati Atinggola hatiku sudah mulai sejuk, berarti aku sudah masuk wilayah provinsi Gorontalo, yang kudengar penduduknya lebih ramah dan bersahabat. Hari ini aku masih banyak menghadapi tanjakan-tanjakan yang menggetarkan paha seperti dua hari lalu hingga tiba di Isimu. Setelah itu jalan relatif datar. Melewati Limboto akhirnya aku masuk ke kota Gorontalo.

Di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tengah
Di Gorontalo aku menginap semalam di Mapala kampus Universitas Negeri Gorontalo, lalu hijrah ke Mapala IAIN Gorontalo dan menginap selama dua malam karena terkena rayuan bisa main internet hotspot gratis. Selama di Gorontalo aku sempatkan sepedaku berobat ke bengkel sepeda, yang merupakan rekanan Polygon karena gratis. Sepedaku perputaran giginya meriang. Rupanya saat di stel di Jakarta, mekaniknya kurang teliti hingga perputaran rantai tidak nyaman. Aku juga sengaja istirahat dua hari di Gorontalo karena aku ingin sholat Jumat dalam keadaan yang nyaman tanpa keringat setelah bersepeda.

Akhirnya aku meninggalkan Gorontalo melanjutkan perjalanan kembali menyusuri jalan trans Sulawesi itu. Hari ini aku hanya menargetkan kota Marisa. Antara kota Gorontalo hingga Marisa, jalan relatif datar. Cuma jalan kadang membingungkan karena jalan raya nya kecil seperti jalan ke desa yang ada di Jawa dan memang begitu situasi jalan trans di sini. Apabila memasuki sebuah kecamatan atau desa yang ramai dan ada persimpangan aku hanya bisa memilih jalan yang ada marka jalannya karna kadang di simpang itu tak ada plang penunjuk arah. Jalan akan melebar bila memasuki kota atau kecamatan yang sudah mapan.

Menjelang sore masih sekitar jam setengah lima, aku singgah di Polsek Marisa untuk menginap dan langsung melapor sekalian minta stempel. Lalu aku duduk-duduk santai di depan polsek menikmati suasana kota kecil tersebut. Sedang asik-asiknya santai aku ditanya seorang polisi yang tak percaya kalo aku dari Jakarta Utara. Diapun minta diperlihatkan KTP ku. Ternyata polisi itu juga dari Jakarta Utara tepatnya di daerah Cilincing yang sedang mendapat tugas di wilayah Gorontalo. Setelah percaya, kami pun berkenalan. Nama polisi itu Supriadi. Umurnya setahun lebih tua dari aku. Ternyata beliau adalah Kapolsek Patilanggio sebuah kecamatan yang mengarah ke Barat dari Marisa. Aku diajaknya makan malam di sebuah warung sate. Sebuah jamuan yang sangat nikmat yang baru kurasakan dalam perjalanan ini. Kami banyak berbincang tentang banyak hal. Dari cerita perjalananku sampai bagaimana proses tugas Pak Supriadi sampai ada di sini, mengingat beliau pernah bertugas di polres Jakarta Utara yang kebetulan juga kenal dengan Mas Bambang, anggota reserse dan teman kakakku yang pernah tugas di polres yang sama. Kami langsung akrab, bahkan beliau memberiku nomor HP kalau- kalau aku mendapat halangan selama di wilayah Provinsi Gorontalo. Selesai makan aku tidur. Aku memilih tidur di dalam sel yang tak ada tahanannya. Lumayan nyaman dan betah….

Esoknya aku melanjutkan perjalanan mengayuh kembali. Setelah 22km aku berhenti di Polsek Patilanggio mengikuti saran Pak Supriadi untuk singgah, sekalian aku mengisi botol minumku dan mengambil foto berdua sebagai kenang-kenangan. Setelah itu aku pamit untuk melanjutkan perjalanan dan mengakhiri kayuhan hari ini sampai daerah Bolano saja walau hari masih jam setengah lima. Aku sengaja berhenti di Polsek Bolano untuk menghindari desa Santigi yang merupakan desa di atas bukit yang jalannya menanjak untuk sampai ke tempat itu. Polsek Bolano adalah sebuah polsek persiapan yang bentuk bangunannya sangat kecil. Mungkin lebih tepat disebut pos daripada sebuah polsek. Tapi didalamnya ada kamar mandi yang membuatku terasa nyaman walau ketika tidur aku menghampar di lantai dan banyak serangga kecil beterbangan di dalam polsek. No problem…!

Matahari belum terbit tapi aku sudah bangun untuk sholat subuh dan langsung mempersiapkan barang-barangku untuk lanjut kembali. Irama kayuhan sepeda kurilekskan tapi tidak lamban. Aku sengaja membuat irama itu untuk menghadapi tanjakan Santigi, tanjakan yang lumayan tapi belum seganas tanjakan di Flores. Dan tanpa halangan tanjakan itu aku lewati hingga aku menikmati jalan raya yang datar sampai di Tinombo Selatan dan Toboli.

Saat aku tiba di Toboli, dua hari dari Bolano, waktu sudah lepas Ashar. Mulanya aku berpikir untuk tidak jadi melanjutkan rute sesuai rencana (ke Luwuk dan Kendari) karena pikiranku yang kujelaskan di atas. Tapi semangatku kembali muncul dan merasa tertantang untuk melewati jalur Toboli-Palu yang terkenal dengan tanjakan kebun kopi itu. Karena hari sudah sore kayuhanku sangat tergesa-gesa hingga dari atas kepala sampai kaki aku basah kuyub karena keringat. Tanjakannya tidak begitu dahsyat tapi keadaanlah yang membuat aku sedikit kewalahan hingga aku sampai Palu Utara sudah jam 7 malam. Esoknya aku baru masuk Palu dan istirahat di Mapala Galara Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako.

Jam 8.30 pagi aku sampai di sekre Galara. Akupun mengutarakan niatku untuk singgah dan menumpang istirahat selama di Palu. Mereka sangat wellcome bahkan hari itu juga aku diajak untuk ikut mendaki gunung Nokilalaki yang kebetulan ada 6 anggota Galara yang ingin mendaki. Akupun langsung menyiapkan perlengkapan mendaki yang akan kubawa, sedang barang-barangku lainnya termasuk sepeda kutinggal di sekre.

Total seminggu aku berada di Palu. Itu termasuk mendaki gunung Nokilalaki dan gunung Gawalise. Dan selama di Palu pula aku telah dianggap sebagai saudara oleh mas Sadiq dan mas Bahar yang bertemu saat bersama mendaki gunung Noki. Aku juga banyak mendapat teman yang asyik selama berada di markas Galara. Intinya semua yang kudapatkan di kota Palu adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Bahkan mas Sadiq dan mas Bahar selalu memantau perjalananku sampai Jakarta via HP.

Waktu pun berlalu. Seminggu sudah aku di Palu. Aku meninggalkan kota itu dengan dilepas oleh Mbak Eka, seorang wanita gemuk anggota mapala Galara yang ikut pula dalam pendakian ke gunung Noki. Saat pendakian itu aku menjadi ajudan mbak Eka yang selalu menemani pergerakan langkahnya saat mendaki dan menuruni gunung. Karena gemuk dia mendaki dan turun dengan sangat lamban. Dia sudah kuanggap adikku sendiri. Dialah yang menemaniku main melihat-lihat kota Palu dengan motornya yang tanpa dilengkapi surat sakti. Malah saat dibonceng motor olehnya, aku selalu mendekap erat tubuhnya yang gemuk kaya orang pacaran. Soalnya hangat hehehe …..dan mas Bahar selalu meledekku kalau Eka adalah pacarku hehehe

Dengan kayuhan yang berat aku memulai perjalanan kembali, meninggalkan Eka yang terpaku, lalu menghilang. Aku juga teringat mas Sadiq yang berkorban untukku dengan menjamin logistik saat aku, mas Bahar, dan dua anggota Mapala Santigi mendaki gunung Gawalise. Dia juga yang mengantar-jemput aku dengan motornya ke kaki gunung. Ditambah pula mentraktirku makan di warung makan yang aku rasa tak mampu membayarnya. Dia begitu over baik kepadaku. Sebuah pengalaman persaudaraan yang takkan kulupa. Mas Sadiq adalah salah satu pendiri Mapala Santigi Fakultas Fisip Untad yang sangat bagus menjadi contoh bagi adik-adiknya di Santigi.

Aku juga teringat mas Bahar, seorang pendaki gunung asal Makassar yang mengadu nasib mencari nafkah di kota Palu bersama istri dan seorang anaknya dengan berjualan buah-buahan import di depan rumah kontrakkannya yang berada dipinggir jalan. Dia memaksaku menerima pemberiannya yang berupa 3 bungkus rokok Djisamsu dan beberapa buah import yang aku sendiri jarang memakan karena harga buahnya yang mahal. Aku tak berdaya saat dia memaksa dengan penuh harap. Bayangan ini yang membuatku tak bisa melupakannya. Belum lagi saat kebersamaan aku dan dia saat mendaki Gawalise. Kami berdua melesat ke depan terus mendaki sementara dua anggota Santigi yang menemaniku ketinggalan jauh tak bisa mengejar langkah kami berdua. Kami seakan telah sehati dan selangkah dalam melakukan sebuah pendakian.
Kesimpulan dari rasa ketidaknyamanan aku meninggalkan kota Palu itu adalah karena aku mendapatkan kedamaian dari saudara-saudaraku dan temen-temen yang asyik selama di Galara dan sekitarnya. Berat rasanya meninggalkan mereka.

Dengan mengucap bismillah aku pun kembali mengayuh, melanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang seminggu lalu kulalui: Toboli-Palu. Bedanya, kini dari Palu ke Toboli dan merasakan kembali tanjakan kebun kopi untuk kedua kalinya. Tapi kali ini aku tidak tergesa-gesa hingga saat melewati tanjakan kebun kopi aku merasa sangat mudah. Ku nikmati setiap tikungan menanjak dengan bernyanyi, bercanda dengan burung rangkong di atas pohon atau mengagumi jurang-jurang dalam yang menganga lebar.

Tiba di Toboli tengah hari. Aku berhenti sejenak karena mendapat kabar dari mas Sadiq kalau aku akan di papak di tengah jalan oleh pendiri KPA El Capitan dari kota Parigi. Benar saja, baru beberapa kilo mengayuh sepeda, aku sudah di cegat sebuah motor yang kemudian mengawalku dari belakang sampai Sekre El Capitan. Aku dianjurkan istirahat menginap semalam walau hari masih jauh dari sore. Akupun menurut menerima tawaran temen-temen El Capitan yang ternyata pendirinya itu berteman baik dengan mas Sadiq. Satu lagi perhatian yang diberikan mas Sadiq kepadaku dengan memberikan kabar kepada El Capitan kalau aku akan melewati Parigi.

Poso-Luwuk-Poso
Esoknya, setelah sarapan aku pamit pada temen KPA El Capitan untuk melanjutkan kembali perjalananku menuju kota Poso. Sepanjang antara Parigi-Poso banyak kutemui penduduk yang berasal dari Bali. Itu bisa dilhat dari sepanjang jalan yang terdapat janur kelapa menjulur ke atas dan ukiran-ukiran batu tempat sembahyang di tiap depan rumah. Dan ini membuat perasaaanku jauh terbang serasa berada di pulau Bali. Sebuah nuansa yang mengingatkanku pada seseorang di Bali sana. Akhirnya, aku tiba di Poso tanpa kendala apa-apa walau sempat terbesit perasaan gundah mengingat daerah menjelang masuk kota Poso merupakan daerah konflik yang membara kala itu, selain daerah antara Poso sampai kilometer Sembilan ke arah Tentena.

Di poso aku menginap di Mapala Madicus. Menginap di sini cukup nyaman daripada menginap dikantor polisi. Akupun bisa melepas lelah dengan nyaman walau kota yang sedang kusinggahi adalah bekas kota panas akibat kerusuhan SARA.

Paginya aku melanjutkan target perjalanan ke arah Luwuk yang merupakan kota diujung Timur Sulawesi. Kayuhan pagi itu kuperlambat sambil menengok kanan kiri jalan karena aku ingin mencari sarapan di sebuah warung kecil yang sekiranya murah. Sekedar untuk diketahui, harga makanan di kota Poso sangat mahal dan sangat mengganggu isi dompetku yang pas-pasan. Tapi semakin jauh mengayuh aku belum menemukan warung yang kumaksud. Akhirnya kuputuskan kayuhan kupercepat hingga tengah hari. Tengah hari perutku mulai rewel minta diisi tapi yang kutemukan sepanjang jalan adalah warung-warung nasi yang menurutku mahal karena ia tempat pemberhentian mobil pribadi atau truk untuk istirahat. Akupun terus mengayuh tanpa mengindahkan perut yang kosong. Aku hanya mengandalkan 10 buah cocolatos harga Rp500-an dan mengemut permen 15 buah hingga aku tiba di kota Ampana. Aku pun sempat terkena hujan di tengah jalan yang jauh dari rumah penduduk dan hanya berteduh dirimbunnya pohon pinggir jalan. Jalur dari Poso ke Ampana relatif sepi dan membuatku selalu ingat jalan di Jawa yang ramai dan banyak dijumpai rumah-rumah penduduk.

Setiba di Ampana, aku mencari rumah kakeknya Didang, seorang wanita pecinta alam yang kukenal di Sekre Mapala Madicus yang katanya letak rumah ada di sebelah pom bensin. Akupun tanpa ragu masuk ke halaman rumah kakek Didang dan mengenalkan diri lalu mengutarakan maksud untuk memohon izin bisa numpang menginap malam ini. Kebetulan Didang sudah memberi tahu tantenya yang tinggal juga bersama kakeknya via hp, jadi tanpa ragu dan takut mereka menerimaku dengan senang hati. Akupun bisa melepas lelah dengan nyaman. Terima kasih Didang family…

Dari kota Ampana aku masih harus melanjutkan perjalanan selama sehari setengah lagi untuk tiba di kota Luwuk, ibukota kabupaten Banggai daratan. Aku tiba di Luwuk tengah hari setelah menginap semalam dulu di Polsek Pagimana. Jalan dari Poso-Ampana ke Pagimana adalah jalan yang sepi dan banyak kujumpai longsoran tebing dan tanjakan yang lumayan. Juga banyak dijumpai biawak, monyet, dan gagak hitam. Tapi antara Pagimana menuju Luwuk lah yang terdapat jalan berupa tanjakan panjang yang memakan banyak tenaga hingga pahaku terasa pegal.

Masuk kota Luwuk aku langsung mencari kampus Untika untuk bermalam di Sekre Mapala-nya. Tidak sulit untuk mencarinya. Begitu ketemu alamat, akupun mengenalkan diri dan menceritakan maksud tujuanku. Disini pula akhirnya aku mendapat teman akrab yang bernama Yoko. Dan yang semula aku hanya ingin menginap semalam saja ternyata aku luluh dengan bujukan Yoko untuk menginap semalam lagi.
Selama di Mapala Untika, waktu banyak kuhabiskan dengan bertukar pikiran tentang perjalananku dan perkembangan para pecinta alam di Luwuk. Hanya sesekali naik motor untuk melihat kota Luwuk dari atas bukit dan saat mencari makan keluar dari Sekre. Selebihnya istirahat sambil ngobrol-ngobrol santai.

Dua hari kemudian aku pamit pada semua temen Mapala Untika terutama Yoko untuk kembali melanjutkan perjalanan: kembali menuju Poso! Seperti saat berangkat dari Poso ke Luwuk, perjalanan dari Luwuk ke Poso pun aku tempuh dengan waktu yang sama yaitu dua hari setengah, tanpa halangan dan tanpa rintangan.
Setiba kembali di Poso, aku kembali menginap di Mapala Madicus satu malam, sebelum aku kembali melanjutkan perjalanan melewati daerah yang kuanggap angker saat terjadi konflik dahulu yaitu jalur antara Poso-Tentena-Taripa-Pendolo.

Pagi setelah sarapan aku mulai kembali mengayuh sepeda ke arah Selatan Poso, ke daerah yang memliki jalan menanjak karna memang jalur lintas Sulawesi dari Poso ke arah Tentena-Taripa-Pendolo memang berupa pegunungan. Disanalah terletak danau Poso yang indah itu.
Lepas dari Poso, tepatnya di kilometer Sembilan aku sempat menatap dan mengamati sisa bangunan Pesantren Walisongo yang habis dibakar dan hampir seluruh santrinya dibunuh kelompok masyarakat pimpinan Tibo. Kabarnya hanya satu atau dua yang selamat. Sisanya habis dibantai. Sungguh tragis! Makanya aneh tak mengerti, aku melihat TV saat tibo mau dihukum mati tapi banyak warga yang protes. Sungguh aneh! Peristiwa itu benar-benar sebuah pelajaran yang tak boleh di ulang lagi. Maka seharusnya dalang dibalik peristiwa Poso harus dicari dan diproses. Lalu ciptakan dan pelihara toleransi kehidupan beragama seperti di tempat lain wilayah Indonesia. Syukur kini keadaan Poso sudah membaik walau biangkerok dalang dari peristiwa itu masih asyik duduk santai dirumah atau dikantornya.

Kulanjutkan kayuhanku menuju Tentena dengan jalan yang terus menanjak dan dengan jantung sedikit berdebar. Maklum aku seorang muslim sedangkan jalur yang kulewati ini adalah daerah mayoritas Nasrani. Tidak terbayang jikalau aku lewat daerah ini saat sedang terjadi konflik. Bisa runyam…!

Aku jadi teringat saat aku duduk di bangku SD Santo Lukas III Sunter Agung, dimana hampir kebanyakan temen-temenku beragama Nasrani. Tapi kami dalam bergaul tak pernah ada sensitif agama. Bahkan salah seorang temen akrabku kini sudah menjadi seorang Pastur walau lama tak jumpa dan ku yakin satu hari ketemu nanti kita pasti saling berpelukan tanpa melihat agamaku dan agamanya bahkan akan kembali mengingat membuka cerita lama saat aku dan dia mencuri belimbing bersama hahahahaha…

Inilah yang kudambakan dalam kehidupan antar umat beragama. Semoga di lain waktu di tempat manapun kapanpun jangan ada lagi pemikiran sentimen beragama. Marilah kita saling menjaga, menghormati, dan menghargai. Amin..

Berhasil melewati Tentena, aku masih harus bertarung dengan tanjakan ke arah Taripa dan Pendolo. Sepanjang jalan itu suasana sangat sepi dan sunyi tapi asyik juga untuk dinikmati. Aku mengayuh dengan penuh semangat karna aku tak mau kemalaman di jalan sebelum tiba di Pendolo. Pandangan mataku selalu berusaha melihat pemandangan yang indah walau kadang mendapati jalan menurun. Semua ingin kurekam dimata dan hatiku sebagai kenangan indah yang pernah kulalui dengan sepeda secara murni ini. Saat tiba di Pendolo sudah jam 5 sore. Aku langsung menuju polsek Pendolo untuk minta izin menginap.

Tidak seperti polsek lainnya, disini barang bawaan ku digeledah walau aku sudah menunjukan KTP dan surat jalan yang kupunya. Termasuk pula buku perjalananku yang semua stempelnya berasal dari polsek-polsek yang kulewati sebelumnya. Apa polisi itu tak mikir kalau memang aku ingin berbuat jahat seharusnya aku sudah ditangkap di polsek-polsek terdahulu tempat aku menginap? Padahal aku juga sudah menjelaskan kalau aku dengan Ipda Supriadi Kapolsek Patilanggio kenal baik bahkan aku siap untuk menelponnya tapi polisi-polisi jaga yang ada malam itu tak peduli dengan omonganku dan tetap saja memeriksa tas bawaanku. Dan aku jadi teringat peristiwa di desa sebelum Bolaang Itang, dimana aku diinterogasi sampai jam 10 malam tanpa sedikitpun percaya pada perjalananku. Ternyata masih saja ada polisi yang berpikiran bodoh seperti itu.

Esoknya pagi pagi aku menuju danau Poso untuk mandi karna di polsek Pendolo kata polisi yang jaga tak ada kamar mandi. Di danau ini airnya bersih dan segar. Aku juga menyempatkan mencuci baju dan celana. Tapi aku tak bisa berlama lama mandi disini karna perjalananku masih sangat jauh dan masih harus banyak berjuang dengan jalan yang menanjak.

Memasuki Sulawesi Tenggara
Singkatnya aku meninggalkan Pendolo dan mengayuh sepeda lagi. Dan setelah melewati jalan menanjak sampai perbatasan Sulteng-Sulsel dan melewati daerah yang sepi dan sunyi berjarak sekitar 100km, aku tiba di Wotu sekitar jam tiga sore. Aku tidak melanjutkan kayuhanku ke kota Malili karna kakiku lelah dan aku memutuskan untuk bermalam di sebuah masjid yang ramah pengurusnya dipertigaan jalan antara ke Malili dan Palopo itu. Dari simpang tiga inilah semua perjalanan yang banyak memakan tenaga, pikiran, dan mental akan dimulai, terutama saat aku sudah meninggalkan kota Malili nanti.

Mengayuh dari simpang Wotu ke Malili memang mudah karna jalan raya nya mendatar dan mulus. Tapi selepas Malili jalan mulai menanjak apalagi saat mulai mendekati arah perbatasan Sulsel-Sultra. Wah pokoknya kaki dijamin gempor dan keringat bercucuran deras, di tambah lagi jalan yang sepi dan sunyi. Aku malah sempat berpikir pembukaan masuk ke Sultra saja sudah begini apalagi nanti bila sudah di Sultra.

Dengan tenaga yang super power akhirnya aku bisa sampai di gapura perbatasan. Dari sini jalan mulai agak menurun sampai ketemu sebuah desa. Dalam perjalanan yang menurun itu dari arah belakang seorang pengendara motor menegurku yang ternyata tertarik dengan kenekatanku dalam melakukan perjalanan bersepeda seorang diri keliling Sulawesi yang sunyi ini. Dia bernama mas Tio, seorang jamaah tabliq yang mempunyai pola pikir persaudaraan yang kuat seperti mas Sadiq dari Palu.

Dalam percakapan itu mas Tio menawarkan untuk singgah di rumahnya di kecamatan Tolala dengan pertimbangan setelah Tolala adalah medan dengan jalan menanjak terjal yang kanan-kirinya berupa hutan belantara yang panjangnya puluhan kilometer. Jadi kalo tiba di Tolala sudah menjelang sore aku akan menghadapi malam di dalam hutan. Setelah bicara panjang lebar, mas Tio pun pamit dahulu meninggalkanku yang masih terus mengayuh sepeda dengan semangat.

Jam satu siang aku berhenti di masjid kecil sebuah desa untuk melakukan sholat, sekalian untuk beristirahat sebentar melepas lelah. Tapi setelah aku sholat ternyata hujan turun dengan lamanya hingga sampai waktu Ashar. Baru selepas Ashar aku bisa melanjutkan perjalanan menuju hanya sampai Tolala. Rupanya doa mas Tio untuk menjadikan aku tamunya terkabul. Padahal andai siang itu aku terus mengayuh sepeda, mungkin aku bisa melewati jalur tanjakan dan hutan yang diceritakan mas Tio sampai menjumpai desa berikutnya. Jadilah malam itu aku menjadi tamu dan bermalam dengan nyenyak di rumah mas Tio yang sederhana, yang kebetulan pula anak istrinya sedang ke rumah ibunya di tempat lain. Aku bersyukur bisa dipertemukan dengan orang baik seperti mas Tio. Semoga perkenalan dengan mas Tio menjadikan aku bisa berpikir jernih tentang interaksi dengan setiap orang walau yang kurasa saat ini agak sulit: sebuah pelajaran yang belum bisa dicerna pada diriku…

Pagi setelah sarapan aku pamit, melanjutkan perjalanan, melewati jalan yang diceritakan mas Tio. Benar, aku sedikit berdebar melihat kanan kiri yang merupakan hutan lebat dengan suasana yang sangat sepi, tanpa ada rumah penduduk. Nafaspun terengah-engah karna jalan yang menanjak terjal. Namun aku masih bisa menikmati kesunyiannya. Sebuah areal yang cocok untuk perenungan introspeksi hati dalam mengarungi sisa waktu yang ku punya.
Lepas dari areal hutan yang cukup panjang, aku akhirnya menjumpai kembali rumah-rumah penduduk. Kali ini jalan yang kulalui banyak yang rusak bahkan tak layak untuk sebuah jalan trans Sulawesi. Kayuhanku tak bisa cepat. Aku harus hati-hati dan pintar memilih jalan yang enak dilalui putaran ban. Jalan yang terkena hujan membuatnya tambah tak karuan. Meter demi meter kulalui dengan hati-hati agar tak terkena lubang jalan atau undakan yang membuat pantat tak nyaman.

Setelah menemui kembali jalan yang agak bagus kayuhan pun baru bisa dipercepat tapi bila ketemu jalan rusak kembali, lagi-lagi kayuhan terpaksa diperlambat. Perlu diketahui jalan antara Tolala sampai Lasusua memang rusak parah. Bahkan selepas kota Lasusua beberapa kilometer aku masih menjumpai jalan rusak parah. Memang jalan kadang bagus tapi kalo diamati jalan yang rusak lebih panjang daripada jalan yang mulus.

Akhirnya dengan berusaha untuk sabar aku tiba di Lasusua menjelang magrib. Aku segera menuju polsek untuk lapor dan bermalam. Disini aku berkenalan dengan seorang polisi yang mengajakku menginap di rumahnya agar lebih nyaman. Kebetulan dia tinggal sendiri dirumah kontrakkannya. Namanya Nadi, masih muda berusia sekitar 24 tahun. Dia seorang Jawa yang orangtuanya merantau ke Kolaka. Walau muda pandangan dia terhadapku sangat berpikiran baik dan sangat peduli dengan perjalanan yang sedang kulakukan. Dan malam itupun aku tidur di rumahnya dengan nyenyak. Sungguh suatu berkah yang kudapat dari seorang good polisi yang jarang kutemui 2 atau 5 tahun lagi jika aku melakukan sebuah perjalanan. Setelah sarapan yang ditraktir pak Nadi, aku melaju lagi mengayuh sepeda hingga menuju Kolaka tanpa halangan apapun. Hanya sedikit kesulitan dan kebencianku pada jalan beberapa kilometer setelah Lasususa yang merupakan jalan rusak parah dan menanjak.

Di Kolaka aku menumpang tidur di sekre Karpalak, sebuah kelompok pecinta alam aktif yang ada di Kolaka. Lalu menginap sehari lagi di kota Unaaha sebelum akhirnya aku tiba di Kendari pada tengah hari.

Impianku untuk mengetahui wajah Kendari akhirnya terjawab. Sebuah ibu kota provinsi yang biasanya hanya aku lihat dari TV kini bisa kurasakan lewat putaran roda-roda sepeda Polygon-ku, dengan keringat semangat dan kesabaran. Di sini aku menginap 2 malam di mapala Mata Alam Universitas Muhammadiyah Kendari.

Sengaja aku tak mau berlama di Kendari karena bayanganku akan jalan rusak, menanjak, dan kesunyian saat kembali ke arah simpang Wotu begitu menggetarkan. Maka aku pun bergegas mengayuh sepeda kembali melewati jalan semula, jalan kemarin yang sudah kuketahui seluk-beluk dan aromanya.

Dalam perjalanan kembali dari Kendari ke simpang Wotu, banyak hal baru yang kujumpai dan menjadi pengalaman yang tak bisa kulupakan. Diantaranya adalah sambutan yang tak pernah aku bayangkan saat malam pertama menginap di KPA Karpak Timur di Raterate. Aku menjadi tamu spesial dengan jamuan unik dan bisa mandi bersama di sungai yang mengalir. Begitu juga saat aku kemalaman di kecamatan Wolo, yang mulanya aku ingin bertanya pada anak muda yang kerja di pom bensin, ternyata mereka malah meminta sharing pendapat dan mewajibkan aku membuat nama KPA dan logonya bagi mereka yang kebetulan sedang sangat berhasrat membuat Kelompok Pencinta Alam (KPA). Maka jadilah malam itu aku sebagai salah satu pendiri KPA PLO di tanah Sulawesi yang jauh dari Jakarta. Juga, situasi kembalinya aku menginap di rumah mas Tio di Tolala yang sementara orangnya tak ada di rumah tapi aku diperkenankan tidur dirumahnya dengan modal sebuah SMS dari mas Tio untuk tetangga sebelah yang dititipi kunci rumah. Sungguh semuanya merupakan renungan sejuk yang menjadikan aku harus bisa lebih mengerti akan arti sebuah perjalanan.
Meninggalkan Tolala adalah sebuah kenikmatan bagiku. Bagaimana tidak dari sini pikiranku terasa segar dan sebentar lagi aku bisa kembali ke provinsi Sulsel walau jalan yang kulalui menanjak sampai perbatasan.

Perjalanan mengayuh sepeda pun kulalui dengan riang walau aku terkena hujan lagi. Bahkan aku banyak berhenti di tempat sunyi untuk mengambil gambar yang kurasa perlu. Kemudian aku kembali mengayuh dengan cepat hingga aku terkena malam di Bonebone dan menginap di polsek.

Memasuki Sulawesi Selatan menuju Makassar
Esoknya perjalananku sudah tenang dan nikmat karena jalan trans di Sulsel lebih baik dan mulus daripada provinsi-provinsi lain di Sulawesi. Begitu juga dengan suasananya: ramai dan banyak rumah penduduk di sepanjang jalan. Dari Bonebone sampai Palopo pun aku tak mengalami kendala sama sekali, sebuah etape yang asyik.

Menginap semalam di Palopo, aku melanjutkan kembali perjalanan. Mulanya aku ingin menyusuri pinggir pantai melewati Watampone-Sinjai-Bulukumba sampai Makassar tapi karena banyak teman yang menganjurkan lewat Tana Toraja akhirnya aku menuruti request jalur itu. Soalnya aku juga tak mau di cap pesepeda yang takut tanjakan. Maklum dari Palopo sampai atas bukit sebelum masuk Rantepao jalan memang menanjak terus sejauh 37 km. Maka jadilah aku melewati wilayah Tana Toraja yang terkenal daerah wisatanya itu.

Sepanjang jalan yang kulalui menuju Rantepao, bagiku biasa saja, tanjakannya pun tak bisa mengeluarkan keringat dari pori poriku bahkan rasa lelah tak singgah di pahaku. Mungkin karena aku mengayuh sepeda dengan tenang, rileks, dan menikmati meter demi meter jalan aspal itu. Masuk rantepao aku tidak istirahat tapi langsung terus mengayuh melewati Makale sampai Enrekang. Di Enrekang aku baru istirahat lama untuk sholat dan menunggu teman yang akan memberiku tumpangan tidur satu malam. Malam itu aku bermalam di rumah seorang teman baru yang bernama Madhan. Terima kasih banyak Madhan, aku bisa tidur dengan nyenyak setelah mengayuh sepeda seharian..

Perjalananku kini di tanah Sulawesi hampir selesai. Aku pun mengayuh dengan semangat. Dari Enrekang, aku benar-benar menikmati detik-detik hari terakhir menuju Makassar. Aku melewati kota Sidrap, Parepare, dan menginap semalam lagi di Barru. Selama perjalanan itu tak ada halangan. Cuaca cerah dan aku malah sempat istirahat lama di Parepare di sebuah warung mie ayam, setelah itu baru mengayuh lagi menuju Barru.

Pagi setelah sarapan dari Barru, aku mengayuh dengan penuh semangat. Maklum aku dapat kabar dari teman, kalau saat aku masuk Makassar nanti aku akan diliput Trans TV untuk acara Reportase Pagi. Wah senang sekali mendapat kabar itu. Bayanganku melayang tersanjung. Ternyata perjalananku masih ada yang mau mengakui walau tanpa tepuk tangan.

Antara Barru menuju Makassar, suasana jalan membuatku pusing. Bagaimana tidak, puluhan kilometer jalan yang kulalui sedang dalam perbaikan dan berarti debu beterbangan, jalan tidak mulus, menyempit, dan tak karuan berlomba dengan kendaraan lain. Kayuhan tidak bisa cepat dan sebaliknya harus hati-hati kalau tak mau kesrempet mobil atau masuk lubang jalan yang jelek. Belum lagi ditambah matahari yang bersinar menyengat kulit. Pokoknya rute terakhirku bersepeda adalah melewati jalan yang tak sedap.

Menjelang masuk Makassar tepatnya Maros, baru aku bisa bernafas lega. Orang Trans TV yang berjumlah dua orang itu sudah menungguku di batas masuk kota Makassar dengan menggunakan mobil hitam ciri khas Trans TV. Jadilah aku seorang pesepeda yang punya semangat 5x lebih besar dari sebelumnya. Penuh rasa bangga, aku mengayuh mengikuti instruksi orang Trans TV agar bisa mengambil gambar dengan bagus. Akupun jadi tahu cara kerja orang TV kalau sedang mengambil gambar. Kadang aku mengayuh mengikuti mobil, kadang di depan mobil dan kadang di samping beriringan. Sementara sang reporter asyik dengan kameranya, semuanya sesuai instruksi.

Lama juga pengambilan gambarnya hingga baru selesai tepat di bawah sebuah jalan layang untuk pengambilan gambar terakhir yaitu wawancara singkat tentang perjalananku ini.
Wuuuuuuuuuh, lega rasanya ending dari penulusuran trans Sulawesi yang mengikuti huruf “ K “ geografisnya pulau Sulawesi itu telah selesai dengan baik tanpa halangan yang berarti dan yang terpenting aku masih dalam keadaan sehat wal afiat.

Akupun berpisah dengan orang Trans TV, melanjutkan mengayuh sepeda menuju Balai Diklat Keuangan Makassar untuk istirahat melepas lelah setelah bersepeda dari ujung Utara sampai Selatan Sulawesi dengan segala cerita kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan……………. Hari ini adalah hari Senin, 14 Juni 2010 atau hari ke-45 hari perjalananku di pulau Sulawesi.
Sebuah perjalanan bersepeda yang sangat menyenangkan, yang kurasa seperti dongeng hatiku kepada telingaku..

Catatan:
Setelah dari Makassar, aku terbang ke Denpasar Bali untuk selanjutnya melanjutkan perjalananku dengan bersepeda hingga kembali ke Jakarta.


Iwan thanks to :
1. Allah SWT
2. Muhammad SAW manusia paling mulia
3. George Leigh Mallory, my son
4. Ibu tercinta
5. Almarhum Bapak tercinta
6. Kuwat Slamet, sponsor utama di balik meja
7. De priehartini kakakku
8. Oo (Adikku Toto Raharjo)
9. Abah Iwan Abdulrachman
10. Doni saleh, Lurah Sunter Agung
11. Peter Mulyadi, manager promotion Polygon
12. Achmad Hariadi, wakil camat koja
13. Extrada 2.0 Polygon, tungganganku
14. Betis paha mata pantat pundak dan seluruh anggota tubuhku
15. Oksigen, matahari dan gelapnya malam
16. Jalan raya yang kulewati
17. Hutan gunung dan kesunyiannya
18. Potret kehidupan yang kulihat sepanjang jalan
19. Orang gila yang kutemui, kau renunganku
20. Suasana poso – pendolo…..menggetarkan
21. Suasana Sulawesi Tenggara…..mendebarkan
22. Bogeng, komandan pasar bambu kuning sunter
23. Sadiq, salah satu pendiri mapala santigi fakultas fisip untad
24. Bahar , good pendaki gunung
25. Ipda Supriadi kapolsek patilanggio, gorontalo
26. Mapala galara fakultas ekonomi
27. Mapala madicus
28. Yoko mapala untika luwuk
29. Mas tio, tolala
30. Didang family
31. Nadi, polisi, lasususa
32. Kanit serse polsek moutong
33. Rinto palopo
34. Madhan enrekang
35. Kpa karpalak, kolaka
36. Kpa karpak timur
37. Aco dan nawir Kpa PLO
38. Kpa el capitan parigi
39. Mapala mata alam univ. Muhammadiyah Kendari
40. Mas ega , Makassar
41. Mas heri yogya
42. Agung devin
43. Masjid yang kusinggahi rumah indah Engkau
44. Gereja yang menemani mataku dijalan
45. Polsek yang kusinggahi
46. Mapala iain gorontalo
47. Iwan sumantri, Pembina BTW Makassar
48. Reportase pagi trans tv
49. Mas yasin banyuwangi
50. Radar banyuwangi
51. Adi jember
52. Ambu , mahasiswi sastra inggris univ. warmadewa Bali
53. Aming bali
54. Kapal feri gilmanuk ketapang
55. Balai diklat depkeu yang kutiduri
56. Punakawan Kediri, demo balung sandi aripin dan dian
57. Mapala pelita Kediri
58. Mas pras cilacap
59. Nuansa prupuk ketanggungan
60. Warung pinggir jalan tanjung
61. Puad dedi cleaning servise balai diklat Cirebon
62. Seseorang di banjar yang menghilang di cilacap
63. Alang alang yang kini tidak lagi berbisik
64. Wewen palembang
65. semua siapa saja ato apa saja yang aku lupa