Tuesday, May 23, 2006

Jurnal Pejalanan Bersepeda: Medan - Banda Aceh

Ini adalah jurnal perjalananku di hari ke-32 s.d. ke-36 yang merupakan bagian dari perjalanan bersepedaku seorang diri: Jakarta – Sabang, NAD – Jakarta – Larantuka, NTT – Jakarta

Sponsored by: Majalah Sunter, Avtech, Polygon, dan Telkom
Jumat, 19 Mei 2006 (Hari-32):

Pagi ini kutinggalkan kota Medan, kota terbesar ketiga di Indonesia. Kukayuh kembali sepedaku seperti hari-hari yang lalu. Aku berharap dalam waktu 3 atau 4 hari ke depan aku bisa tiba di ibukota serambi mekah, Banda Aceh. Hari ini, aku bersholat Jumat di kota Pangkalan Brandan yang masih berada di wilayah Sumatera Utara. Petang hari, aku telah tiba di kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Malam ini aku menginap di basecamp Saudara-Saudaraku di MAPALA UNIVERSITAS SAMUDERA (Mapala Unsam). Hari ini kukayuh sepedaku sejauh kurang lebih 130-an kilometer dengan kondisi jalan yang relatif lebih datar.


Sabtu, 20 Mei 2006 (Hari ke-33):

Hari ini jalur yang harus kulalui adalah jalur ”berbahaya” di masa konflik RI dengan GAM. Yah, aku harus melalui jalur antara kota Langsa menuju Lhokseumawe. Kutelusuri jalur yang berada di pesisir timur provinsi NAD ini. Jalan yang kulalui relatif datar. Alhamdulillah, sore hari aku memasuki kota Lhokseumawe dengan selamat. Jujur saja, ada sedikit rasa khawatir lho selama aku melintasi jalur ”rawan” tersebut. Selama dalam perjalanan, semuanya kupasrahkan kepada Illahi Robbi.

Malam ini, aku menumpang nginap di Universitas Malikussaleh.

Minggu, 21 Mei 2006 (Hari ke-34):

Seperti biasa, pagi-pagi sekali kukayuh pedal sepedaku. Walau letih terasa belum hilang, walau panas di pantat belum mendingin, kutekadkan kembali niatku untuk mencapai kota Banda Aceh sesegera mungkin. Hari ini targetku adalah kota Sigli.

Sepanjang jalan kulantunkan asma Allah dalam hatiku. Aku selalu mencoba memberikan senyuman kepada setiap orang yang kulalui dan yang memandangiku dengan rasa penuh tanda tanya. Awalnya aku sempat mengibarkan bendera merah putih pada sepedaku. Namun lama kelamaan aku malah merasa risih sendiri ketika setiap orang memandang aneh terhadap diriku. Ada yang menatapkan heran, ada yang memberikan acungan jempol, ada yang menganggukkan kepala dan sebagainya. Akhirnya kuputuskan untuk melipat bendera merah putih tersebut dan menyimpannya dalam tasku.

Sekitar jam 6 sore, aku tiba di kota Sigli dan menginap di sebuah masjid yang ada di kota tersebut. Selepas sholat Isya, kelepaskan rasa letih dan penatku dalam buaian mimpi.

Senin, 22 Mei 2006 (Hari ke-35):

Perjalanan pagi ini dari kota Sigli menuju Banda Aceh sangat berbeda dengan perjalanan tiga hari sebelumnya. Bila beberapa hari yang lalui jalanan sangat datar karena menyusuri pesisir pantai, kali ini aku harus mengayuh sepedaku dengan lebih berat. Yah, jalanan yang menanjak dan menurun yang kuhadapi kali ini. Mirip dengan perjalananku ketika berada di wilayah Lampung, Palembang, maupun Jambi.

Saat aku akan memasuki Kecamatan Sibreh, tiba-tiba angin yang sangat keras menggantamku dan sepedaku. Nyaris saja aku terpelanting. Seketika kuhentikan kayuhanku dan kucari perlindungan. Tidak lama kemudian hujan deras pun turun.

Hampir satu jam aku tertahan di situ. Dan saat hujan mulai reda cepat-cepat kukayuh kembali sepedaku agar tidak kemalaman di jalan. Kota Banda Aceh tinggal beberapa kilometer lagi. Alhamdulillah, sekitar jam 5 sore aku memasuki kota Banda Aceh. Dengan semangat yang masih membara kekayuh terus sepedaku menuju masjid raya.

Selama mengayuh, kubayangkan kejadian tsunami di tahun yang lalu. Dalam diriku aku bertanya, ”Yaa Allah mengapa Engkau memilih bumi Aceh tercinta ini sebagai tempat yang harus dilanda tsunami? Apa pesan sebenar-Mu kepada kami Yaa Allah?”

Selasa, 23 Mei 2006 (Hari ke-36):

Hari ini koran lokal di Banda Aceh memberitakan kejadian topan kemarin yang melanda kota Banda Aceh, Aceh Besar, dan sebagian Pidie. Pagi ini pula kusambangi pelabuhan Uleuleu yang merupakan ”pintu masuk” terjangan tsunami tahun lalu. Menurut informasi yang kudengar dari masyarakat setempat, ketinggian ombak saat itu mencapai 15 m dan menerjang kota Banda Aceh sejauh kurang lebih 15 Km ke dalam pusat kota. Allahu Akbar. Sungguh Maha Besar Engkau Yaa Allah.

Aku baru dapat menginjakan kakiku di Pulau We pada sore hari. Aku harus menunggu hingga jam 2 siang untuk menyeberang ke Pulau We dengan kapal Feri.

Begitu tiba di pelabuhan pulau We, segera kukayuh sepedaku menuju kota Sabang yang berjarak kurang lebih 11 Km dari pelabuhan.

Perjalananku ke kota Sabang ternyata masih membutuhkan energi besar. Jalan menanjak menghadangku untuk memasuki kota Sabang. Aku jadi teringat ketika aku tiba di pelabuhan Bakauheni menuju kota Bandar Lampung beberapa minggu yang lalu. ”Persis,” dalam hatiku. Perjuanganku tak sia-sia. Di hari ke-36 sejak aku meninggalkan Jakarta (catatan: aku sempat tertahan satu minggu di Jambi karena terserang cacar), akhirnya kutambatkan sepedaku di kota paling Barat Indonesia!!!!

Terima kasih Yaa Allah...........

No comments: